Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satu Dunia Lain: Ibu

2 Desember 2020   20:24 Diperbarui: 2 Desember 2020   20:37 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang aku sudah tidak mudah rindu rumah. Entah karena sudah terbiasa atau mataku yang tambah buram saja karena susah mengenali mana rumah mana rumah-rumahan. Yang jelas hal pertama yang kucari ketika sampai di rumah tetaplah ibu.

Saat baru lulus sekolah dasar pula, rankingku pernah terjerembab ke angka belasan. Lingkungan yang kompetitif mungkin penyebabnya. Saat itu aku masih bangga dengan rankingku mengingat anak-anak lain memasukkan gulungan kertas-kertas kecil kala aku tidak melakukannya, aku bangga dengan tingkat kekeraskepalaanku.

Ibu yang mengambil raporku tidak marah sama sekali. Ia bahkan tidak membicarakan ketersungkuran peringkatku sebagai suatu yang memalukan. Sedangkan bapak hanya mengejekku, membuatku berpikir bahwa nanti aku juga tidak akan memaksa anakku ada di atas rantai peringkat sekolah.

Mungkin dari sekian kilogram kebaikan-kebaikan ibuku, hanya ada satu yang kurasa jadi kekurangannya. Ia tidak percaya sepenuhnya bahwa aku bisa melakukan urusanku sendiri. Tapi itu bukan masalah besar, nanti bila aku sudah menghasilkan penghidupan sendiri, toh ia akan melihatku sebagai seorang yang kredibel.

Dalam hal tutur kata, ibuku yang mengajarkanku jangan sampai nafasmu saat bertutur bisa menerbangkan sehelai kapas yang ditempatkan di depanmu. Jangan sampai membuat orang menoleh untuk mencari tahu siapa yang tengah bicara. Semua tersampaikan tanpa kata.

Tidak sekalipun kami dibentuk untuk menjadi istri orang. Tidak pula kami diperintah melakukan sesuatu agar kelak cepat dinikahi lelaki. Ibu mengisyaratkan bahwa menikah bukanlah tujuan hidup nomor satu. Tidak ada angka yang memagari kami agar cepat menyelesaikan studi sebab takut dimakan usia dan tak seorang pun mau meminang.

Jika orang-orang di luar sana menganggap privilege (hak istimewa) adalah terberkati dengan orang tua yang kaya atau darah bangsawan yang disegani, mungkin mereka harus mendefinisikan sekali lagi makna hak istimewa. Bahwa memiliki ibu yang ideal bukanlah sebuah keniscayaan dan karena itu cukup baginya untuk dikategorikan sebagai hak istimewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun