Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Tidak Dikatakan: Ageism

1 November 2020   20:39 Diperbarui: 7 November 2020   16:16 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu lalu saya sempat menonton sebuah video yang membangkitkan keingintahuan saya pada salah satu bentuk diskriminasi yang cukup baru (karena saya baru mengetahuinya).

Kita bisa menyebutnya ageism. Dalam video itu, ada sebuah program televisi dengan format gelar wicara yang menampilkan seorang narasumber yang masih relatif muda.

Yang kemudian disoroti adalah fakta bahwa si pembawa acara memperlakukan narasumber secara berbeda dengan menggunakan sapaan khas kepada anak kecil (yang mana sebetulnya narasumber bukan lagi anak kecil) dan itu berdampak pada respon macam apa yang akan diberikan oleh narasumber.

Menurut  World Health Organisation, ageism adalah stereotipe, prasangka dan diskriminasi yang dialamatkan pada seseorang atas dasar usia.

Meskipun beberapa sumber yang saya baca menyebutkan bahwa ageism ini lebih sering terjadi pada orang berusia lanjut, tetapi ageism tidak terbatas pada mereka yang digolongkan tua.

Diskriminasi jenis ini mengingatkan saya pada sebuah drama Korea bertajuk Descendant of The Sun, dimana pemeran utama wanita yang berprofesi sebagai dokter tidak dapat memperoleh gelar tertentu (seingat saya profesor) karena masih terlalu muda.

Sebetulnya, terlalu menyederhanakan bila hanya membahas bidang tertentu dalam lingkup ageism. Bahkan hal sekecil mendapatkan label 'kurang dewasa' karena sekelas dengan anak-anak yang lebih tua (karena sebelumnya ikut program akselerasi) juga termasuk ageism.

Contoh lain yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari ditunjukkan oleh keponakan saya yang saat itu berusia 5 tahun. Ia yang mengantri untuk membeli jajanan di depan sekolahnya tidak kunjung dilayani oleh si penjual, tetapi anak yang  datang belakangan dengan membawa serta ibunya, malah dilayani lebih dulu.

Bisa ditebak, keponakan saya yang tidak tahu bagaimana cara kerja sebuah antrian hanya pasrah ketika tidak kunjung mendapat apa yang ia ingin beli.

Saat itu kakak saya, ibu dari anak itu, yang sedari tadi mengamati dari kejauhan langsung mendekat dan memastikan bahwa apa yang ia sangkakan memang betul terjadi. Keponakan saya memang tidak kunjung dilayani karena ia yang tidak membawa ibunya, tidak seperti anak lain. 

Ia yang diyakini paling muda dan paling tidak berdaya mendapat perlakuan yang berbeda dari yang lain. Sebuah ilustrasi yang sempurna untuk menggambarkan ageism.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun