Sebagai warga negara yang memiliki urusannya masing-masing, tentu wajar bila kita tidak tahu persis bagaimana suatu kebijakan publik dibuat. Pengetahuan para perumus kebijakan mengenai bagaimana memproyeksikan kebijakan publik beberapa waktu ke depan, kepemilikan akses untuk mendapatkan insight dari para staf ahli yang dapat memberi sudut pandang non politis maupun hal-hal menguntungkan lainnya, kita juga tidak punya. Namun, apakah itu berarti kita tetap tidak bisa memberi kritik kepada para pemilik tongkat di atas sana?
Saya paham bahwa rakyat tidak mengetahui sekompleks apa perumusan kebijakan publik, tetapi saya baru memahami seberapa luasnya ketidaktahuan publik itu setelah saya tersadar bahwa gerakan yang diserukan Greta Thunberg itu sangat naif ketika saya tidak sengaja mendengar kritik halus dari Putin, salah satu kepala negara yang menjadi alamat utama dari orasi-orasi Greta.
Namun, sekali lagi, apakah dengan ketidaktahuan itu kritik dari rakyat patut diabaikan?
Pertama, kesalahan besar yang dapat timbul ketika rakyat tidak menyadari ketidaktahuannya adalah bahwa mereka akan berpikir setiap kebijakan yang tidak memihak mereka, tidak lain dan tidak bukan disebabkan karena pemerintah tidak mendengarkan rakyatnya. Yang mana, sebetulnya saya juga tidak terlalu percaya bahwa pemerintah mendengar setiap keluhan rakyat, tetapi mari kita kesampingkan hal ini.
Dengan adanya pemikiran sederhana ini, tentu akan jadi sangat problematis ketika rakyat mengasumsikan kebijakan publik yang tetap dibuat (setelah mereka menyerukan ketidaksetujuan) merupakan bentuk pengabaian pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Yang mana tentu tidak benar seratus persen. Terdapat banyak hal yang juga masuk ke dalam pertimbangan pembuatan kebijakan publik yang rakyat tidak tahu.
Hal ini juga akan memicu ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahnya sendiri dan bila terus menerus terjadi, bukan tidak mungkin akan menyebabkan kerusuhan yang pernah terjadi sebelumnya. Â
Kedua, di sisi lain, dengan adanya kesadaran mengenai ketidaktahuan rakyat ini justru seluruh kritik dari rakyat dikhawatirkan akan dipandang sebelah mata bahkan oleh masyarakat itu sendiri. Maka akan timbul narasi-narasi yang menyakralkan semua yang dikatakan pemerintah. Dengan asumsi bahwa pemerintah adalah pihak yang tahu segalanya dan rakyat adalah mereka yang sangat beruntung karena telah dianugerahi penguasa yang bekerja keras demi mereka. Persis seperti bagaimana pemerintah dipersepsikan pada zaman kerajaan dulu.
Argumen kedua ini justru akan mematikan ruang-ruang diskusi dan kritik yang sebetulnya sangat berguna dalam mengawal kinerja pemerintah. Kecuali bila pemerintah ingin mengadopsi gaya pemerintahan Korea Utara.
Lalu, bagaimana seharusnya kritik itu dipahami?
Saya tidak akan menyarankan Greta untuk menurunkan semua rencana orasinya dan memulai menanam pohon di belakang rumahnya. Namun, saya akan sangat senang mengetahui fakta bahwa Greta memahami bila kesadaran pemimpin dunia untuk melakukan apa yang dia sampaikan adalah sebuah output jangka sangat sangat panjang. Bahwa dunia ini tidak sesederhana kelihatannya. Tanpa sedikitpun mengecilkan upaya yang ia lakukan, tentu.
Sebaliknya, tuntutan naif (karena menginginkan kondisi ideal secara total) ini diperlukan untuk mengingatkan masyarakat akan output ideal yang bisa diharapkan.
Lagipula, apa salahnya memberikan kritik dengan pengetahuan yang seseorang punya? Apakah bila seorang dokter menyerukan pengurangan atau penghentian produksi rokok karena pengetahuannya mengenai seberapa bahayanya rokok, lantas kritiknya dianggap tidak valid sebab ia tidak tahu seberapa banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada industri rokok?