Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membenarkan Tindak Kriminal atas Kesalahan Korban

27 September 2020   19:48 Diperbarui: 29 September 2020   08:17 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mana ada sih perempuan mau dimadu?
Bahkan jika memang iya, pernyataan itu sama sekali tidak bisa jadi alibi tindakan super jenius yang dilakukan istri pertama karena tidak terima dengan pernikahan kedua dari suaminya. Tindakan seperti menyerang orang yang tengah salat misalnya.
Beberapa waktu lalu, sebuah berita menayangkan aksi seorang perempuan yang tidak terima suaminya menikah lagi. Ia menyerang orang yang menikahkan suaminya yang tidak lain dan tidak bukan adalah sang penghulu. Ya, bukan suaminya yang diserang, tetapi yang menikahkan. Sudah anarkis, salah alamat pula.
Yang menurut saya perlu menjadi perhatian khusus adalah fakta bahwa ada beberapa orang yang seakan menyetujui tindakan istri pertama tersebut dengan prinsip tidak ada asap bila tidak ada api. Ditambah lagi dengan munculnya opini-opini yang seakan menganggap biasa saja tindakan itu atas dasar aksi-reaksi. Lalu bila ada pembunuhan, si pembunuh sudah dihukum, keluarga korban boleh membalas dendam dengan membunuh keluarga pelaku? Atas dasar aksi-reaksi pula? Atas prinsip tidak ada asap bila tidak ada api? Bantai-membantai ditolerir hingga seluruh generasi itu saling balas sampai seluruh keturunan habis? Tentu ini logika yang sangat mutakhir sekali.
Padahal tindakan manusia yang sifatnya respon atas tindakan lain sangat jauh kemiripannya dengan asap dan api. Asap tidak bisa memilih untuk ada atau tidak ketika api dinyalakan. Sedangkan tindakan manusia? Kita selalu bisa memilih untuk menanggapi atau tidak menanggapi tindakan buruk yang menimpa kita.
Opini yang saya baca, bukannya membahas tindakan perempuan itu sebagai tindakan kriminal, tetapi malah membahasnya dari sisi istri yang disakiti oleh suami. Sebetulnya benar adanya bahwa si suami tidak meminta izin kepada istri pertama atas pernikahan keduanya. Tetapi apakah itu menjadikan tindakan anarkis istri benar secara hukum? Hal lain yang membuat saya muak adalah tanggapan atas berita itu pada kolom komentar, banyak yang menyatakan empatinya kepada pelaku atas KEKERASAN YANG DILAKUKANNYA. Tentu ini tidak lepas dari andil opini-opini yang berkeliaran yang menyatakan persetujuan implisitnya atas aksi ibu-ibu itu. Apakah krisis kemanusiaan juga harus menyapa Indonesia saat wabah tengah melanda?
Memaparkan opini bukan hanya bagaimana menyampaikan apa yang ada di pikiran. Tetapi juga ada tanggung jawab moralnya. Bagaimana bisa mendukung tindakan kriminal dengan menjelaskan latar belakang perasaan si istri melakukan hal tersebut? Karena suami berbuat tidak adil maka istri (bukannya meminta keadilan) malah menyerang imam salat.
Saya kira victim blaming atau tindakan menyalahkan korban hanya terjadi pada kasus pemerkosaan. Korban disalahkan karena berpakaian minim dan menggoda pelaku serta deretan alibi dungu lain. Tetapi sepertinya victim blaming terlalu masif untuk disederhanakan begitu saja.
Kasus anarkis lain yang berujung kematian adalah kasus dimana seorang lelaki membunuh pekerja seks yang tengah disewanya karena korban berkata bahwa aroma tubuh pelaku sangat mengganggu. Pasti banyak orang yang selain menyalahkan mulut perempuan itu atas kata-katanya, juga menyalahkan pekerjaannya. Memang pekerjaan itu tidak dapat dibenarkan dengan norma apapun, tetapi pantaskah menyalahkan korban atas tindakan tidak mengenakkan yang ia terima? Saya menyarankan bila kita tidak bisa menghormati orang atas pekerjaannya, hormatilah ia sebagai manusia.
Mengulik dan membingkai alasan pelaku melakukan tindakan tololnya sama dengan memberi alasan atas perbuatan yang dilakukannya. Bahwa seakan korban yang berbuat kesalahan pantas untuk menerima konsekuensi dan pelaku hanya bertugas memberikan konsekuensi itu kepada korban.
Padahal kenyataannya, menurut saya, tindakan buruk yang kita lakukan memang membawa segala risiko yang harus kita tanggung. Namun konsep dari risiko sangat berbeda dengan konsep konsekuensi. Risiko adalah sesuatu yang boleh jadi kita dapat dan boleh jadi tidak. Sedangkan konsep dari konsekuensi adalah sesuatu yang pasti kita dapatkan. Konsekuensi dari menikahi seorang perempuan adalah menerima segala kurangnya, sedangkan risikonya adalah bercerai dengannya. Maka jika menganggap bahwa tindakan buruk membawa konsekuensi yang juga buruk, bagaimana bila para pegiat victim blaming dipersekusi saja? Bukankah tindakan mereka lebih dari cukup untuk menjadi alasan tindakan buruk lain yang datang menghampiri?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun