Bagai menggarami air laut, bicara korupsi, saya jadi teringat sebuah opini disalah satu media, yang intinya bahwa korupsi adalah mencuri hak si miskin. Lama saya merenung, apa tepat dianalogikan sedemikian. Nampaknya terlalu sederhana jika hanya mencuri hak si miskin maka disebut korupsi. Padahal banyak pula rakyat miskin yang hidup dengan kemiskinannya tapi tidak pernah bagaimana bisa memahami merasa dicuri haknya sehingga tetap merasa cukup, bahagia dan bersahaja, meskipun ketimpangan sosial,pendidikan dan ekonomi begitu besar dialaminya bila dibandingkan dengan kaum the have.
Dari berbagai sudut pandang agama, korupsi tidak pernah dibenarkan sama sekali, kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat seperti misalnya seorang miskin papa yang kelaparan sehingga mendorongnya untuk mencuri demi menghilangkan rasa laparnya. Sekali lagi hanya dalam situasi darurat dan hal itu tidak dibenarkan dilakukan secara terus menerus, karena manusia harus bangkit dari keterpurukan, kemuliaan manusia terletak pada pribadi yang kuat, pribadi yang tangguh (tangan diatas lebih baik dari tangan yang dibawah), tidak meminta-minta, mengemis, apalagi mencuri.
Sebagai “warisan luhur” yang sulit dihentikan tentunya sangat memprihatinkan masa depan bangsa, masa depan anak cucu kita kelak. Sepertinya lebih tepat dan cukup adil, hakikat korupsi adalah mengambil yang bukan haknya dengan memanipulasi atau menghalalkan segala cara, bukan begitu ?
Zero reward bagi si jujur
Selama ini tidak sedikit yang menyudutkan pola pendidikan yang dienyam bangsa kita, telah membuahkan hasil generasi korup yang terus berkelanjutan. Waktu ke waktu tidak pernah berhenti menyalahkan semua faktor pemicu dan penghambat, bahkan regulasi yang sudah sedemikian “bagusnya” masih tetap dilanggar dan menjadi sinetron berepisode panjang tanpa usai dalam mengadili aktor-aktor yang berlaga.
Lalu dimana si jujur ? kemana tenggelamnya si jujur ? Bukan lagi diam itu emas tapi jujur itu emas, emas yang terpendam jutaan tahun lalu , jujur itu teramat sulit, jujur itu dikucilkan, jujur tak berlaku, jujur tereliminasi. Sudah tidak ada jujur untuk kebaikan, yang ada hanya berbohong untuk kebaikan. Jujur tak pernah ada bonus, tidak pernah ada reward kepada aktornya, karena semua sudah pudar terkena virus pikun. Lupa bahwa kemaslahatan bersama juga akan membawa angin kebajikan bersama. Lupa pada malu, karena malu kalau tidak kaya, malu kalau tidak menurut atasan, malu kalau….ini dan itu. Bukan lagi malu kepada kapan berhentinya “warisan luhur” ini, warisan yang akan membawa kegersangan alam, kesengsaraan semua rakyat tanpa kecuali, kemiskinan yang terus melanda, dan kemarahan alam pada kita.
Belajar dari Cina atau Negeri lainnya
Aah tak perlu lagi, berhentilah belajar, terlalu banyak belajar tanpa mengamalkannya ibarat perahu tanpa dayung, tidak bergerak melaju menuju pulau impian. Tak perlu lagi, lupakan sajah ! lupakan terkagum-kagumnya kita pada Negeri-negeri itu yang sudah terbiasa maju, terbiasa memberantas korupsi. Lupakan sajah !
(Mel)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H