Sebagai penjaga kosan, aku harus hidup dengan bermacam-macam orang yang terus datang dan pergi. Kadang mereka tinggal lama, kadang hanya sebentar. Tapi yang jelas aku selalu tahu nama-nama mereka dan di kamar berapa mereka tinggal. Aku hafal jam keluar mereka, kapan mereka membeli makan, hari apa mereka mencuci pakaian, jam berapa mereka pulang. Aku tak banyak bicara, tapi aku tahu betul apa yang sedang mereka hadapi hanya dengan melihat keadaan kamarnya.Â
       Aku selalu masuk ke kamar mereka seminggu dua kali untuk bersih-bersih. Ini memang sudah paket yang ditawarkan untuk kosan eksklusif seperti ini. Kamar selalu dibersihkan, laundry, listrik, air mineral, AC, wastafel, dan juga kulkas bersama. Jadi mereka hampir tidak perlu melakukan apapun karena semuanya sudah tersedia. Yah, kecuali makan.
       Sebagai seorang penjaga kosan biasa yang hanya lulusan SMK, aku sangat bangga dapat mengenal banyak orang-orang hebat. Meskipun mereka jarang menyapaku, aku senang aku dapat bertemu dengan para pekerja di kementerian-kementerian, lembaga-lembaga negara, perusahaan-perusahaan besar, dan juga para mahasiswa di kampus-kampus ternama. Mereka ini memang tidak pernah menegurku jika tak sengaja berpapasan, bahkan mungkin tidak menganggap kehadiranku. Tapi bagiku bukan masalah. Lagipula orang sepertiku ini mana penting sih di mata mereka. Aku kan cuma tukang bersih-bersih sisa makanan mereka di tempat sampah, bersih-bersih tahi mereka yang kadang masih menempel di toilet kamarnya, beres-beres kasur dan sarung bantal bekas ilernya. Kalau mereka sih, pasti kerjaannya mengurusi urusan-urusan besar, sudah capek memikirkan soal keberlangsungan negara atau kontrak-kontrak besar, jadinya boro-boro mikirin tahi yang nyangkut di toilet, bisa tidur saja sudah alhamdulillah. Memastikan segala kebutuhan mereka tercukupi dan hidup nyaman artinya aku turut berkontribusi dalam menciptakan kehidupan negara yang damai sejahtera. Coba, kalau orang-orang ini hidupnya rungsing karena kamarnya bau dan kotor, mana bisa mereka membuat kebijakan-kebijakan bagus? Mana bisa mereka bekerja dengan nyaman di kantornya? Nah itu semua berkat aku. Aku juga turut membantu kehidupan ini berjalan dengan semestinya. Kata ibuku di kampung, "Urip iku kudu urup le. Ga dadi uwong yo ora opo-opo, seng penting kudu nduwe manfaat kanggo wong lio."
       Sekitar jam 20.00 para penghuni kosan ini biasanya sudah pada pulang dan masuk ke kamar masing-masing. Setelah mandi dan beres beres kecil, mereka akan bersiap tidur atau membuka layar laptopnya. Kemudian sepi. Di jam-jam inilah mereka akan merutuki nasibnya. Saling menangis dalam diam, meraung-raung dalam sunyi di ruang-ruang sempit yang tersekat oleh tembok. Hanya sekat-sekat berwarna krem ini yang memisahkan kesedihan mereka agar tidak bercampur menjadi satu. Namun jika dapat dilihat dari atas tanpa atap, akan terlihat bahwa mereka ini nyatanya tak lebih dari sekumpulan tragedi yang menggunakan bermacam nama dan judul. Atau tanpa nama sama sekali. Hanya tragedi. Murni tragedi. Mereka tidak saling kenal tetapi mereka memiliki banyak kesamaan. Salah satunya adalah rutinitas menyendiri bersama ini. Di kamarnya masing-masing. Bagaimana aku tahu? Setiap pagi setelah mereka pergi, aku selalu menemukan tumpukan tisu-tisu basah oleh ingus dan air mata. Di beberapa kamar yang penghuninya mengalami kesedihan yang ekstrem, aku bahkan melihat cakaran-cakaran di tembok kamar. Di toiletnya aku menemukan silet dan bekas darah yang masih menempel di lantai. Semua itu harus kubersihkan secepatnya. Tapi khusus untuk cakaran di dinding aku membiarkannya. Aku tak mau mereka tahu bahwa aku melihat kerapuhan mereka sebagai manusia itu. Kadang kala aku mengelus dada. "Ya Tuhan, kehidupan apa yang sedang mereka jalani? Masalah besar apa yang menimpa mereka jika mereka harus membutuhkan tisu sebanyak ini setiap hari?" Tapi apapun masalah yang sedang mereka hadapi, aku hanya berharap semoga mereka dapat melewatinya dengan penuh ketabahan.
       Pagi tadi, beberapa penghuni kosan pergi terburu-buru dengan ojek onlinenya. Hanya ada satu mba-mba yang masih santai di lantai atas. Ia duduk sambil meminum air putih di kursi dekat jendela. Kursi besi itu berbentuk seperti kursi tunggu di rumah sakit. Aku bergegas ke lantai atas untuk bersih-bersih setiap kaca, lantai, dan cucian piring. Ini baru pertama kalinya dia menyapaku.
"Sedang bersih-bersih ya mas?"
"Iya mba." Kujawab singkat karena aku malu untuk berkata lebih.
"Sudah lama bekerja disini mas?"
"Sudah mba." Kataku dengan kaku. Kusadari dia tidak puas dengan jawaban singkatku. "Sedang libur mba?" Kataku menambahkan. Hanya basa-basi kecil agar ia sedikit senang.
Dia tertunduk pasrah. "Ya..." katanya ragu. "Kalau mas, bersih-bersih kosan ini setiap hari ya?"
"Kalau kamar kan seminggu dua kali mba, kalau lorong-lorong luar ini sih setiap hari mba. Yah... namanya juga kerja jaga kosan hehe... Kalau kotor kan nanti si bos marah. Mba kerja dimana kalau boleh tahu?" Aku memberanikan diri bertanya padanya.