Mafia tanah merupakan kegiatan kriminal di bidang pertanahan yang melibatkan sekelompok individu dengan niatan untuk secara tidak sah atau melanggar hukum dalam upaya menguasai tanah yang seharusnya dimiliki oleh pihak lain. Hadi Tjahjanto, Menteri ATR/Kepala BPN, menunjukkan bahwa Lampung menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah kasus mafia tanah terbanyak di Indonesia. Rifandy Ritonga, seorang Pengamat Hukum dari UBL, merespons hal tersebut dengan menjelaskan modus operandi yang umumnya digunakan oleh pelaku. Menurutnya, modus operandi dalam kasus mafia tanah melibatkan konsep permufakatan jahat, seperti penggunaan girik palsu, pemalsuan dokumen, okupasi tanah (penguasaan tanah), perubahan tanda batas, dan permohonan sertifikat pengganti yang seolah-olah hilang padahal tidak benar-benar hilang.
Kilas balik pada tahun 2022 suatu kasus mafia tanah di Desa Malang Sari heboh menjadi pemberitaan. Bagaimana tidak dibalik kasus mafia tanah 10 hektare Desa Malang Sari, Lampung Selatan satu orang oknum jaksa berinisial ditetapkan menjadi tersangka. Adapun lima orang pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus mafia tanah pemalsuan dokumen sertifikat hak milik pada tanah seluas 10 hektare yaitu, salah satu pensiunan Polri, Kades Gunung Agung Lampung Timur, Kepala Satpol PP Lampung Timur, seorang notaris dan PPAT, serta juru ukur pada Kantor BPN Kabupaten Pesisir.
Kasus mafia tanah ini menjadi unik karena hampir semua tersangka merupakan aparat pemerintahan. Mereka bekerja sama dengan baik untuk melakukan yang seharusnya tidak dilakukan oleh mereka, mulai dari membuat surat keterangan seolah-olah tersangka sudah mempunya tanah tersebut dari tahun 2013, dibantu lagi oleh tersangka lain yang juga turut memperkuat surat keterangan tersebut dengan menandatangani dan memberikan cap stempel, kemudian tersangka dengan jabatan sebagai PPAT membuat akta jual beli (AJB), dan tersangka lainnya tidak melaporkan bahwa ada pihak lain yang telah menguasai objek tanah dan juga terlibat dalam pengukuran tanah tersebut. Dapat kita lihat bahwa yang birokrasi yang sering dikatakan kaku yang merujuk pada sistem administrasi pemerintahan yang terlalu formal, hierarkis, dan terikat pada aturan-aturan yang ketat. dan sangat sulit prosesnya namun bisa sangat flexible dilakukan pada kasus ini.
Kasus ini mencakup sejumlah pelanggaran hukum, seperti pemalsuan surat keterangan, pembuatan AJB tanpa proses yang sah, dan ketidakpatuhan dalam transaksi properti. Tindakan ini merugikan warga setempat yang sebenarnya memiliki dan mendiami tanah tersebut. Melihat deretan tersangka pada kasus ini juga sudah tidak terlalu membuat kita kaget meskipun pasti tidak pernah terpikirkan bahwa aparat pemerintah melakukan hal keji tersebut. Kronologi kasus tersebut membuat kita menyadari bahwa penyalahgunaan kekuasaan itu nyata adanya dan kerap tumbuh menjadi menjadi patologi dalam birokrasi.
Patologi Birokrasi dapat dianggap sebagai suatu penyakit yang merusak prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan birokrasi. Penyakit ini bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan telah ada dan terpelihara dalam jangka waktu yang cukup lama. Birokrasi telah menjadi simbol kemakmuran dan kekuasaan bagi aparatnya, yang dianggap sebagai pihak yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam perannya sebagai eksekutor kekuasaan, birokrasi rentan terbuai dan tergoda untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan, yang dikenal dengan istilah abuse of power. Dalam paradigma Actonian, terdapat pernyataan bahwa kekuasaan memiliki kecenderungan untuk korupsi, dan kekuasaan yang mutlak pasti akan korup secara menyeluruh. Pernyataan ini secara tidak langsung juga menggambarkan bahwa dalam konteks birokrasi, ketika terkait dengan kekuasaan, terdapat kecenderungan bagi birokrasi untuk melanggar wewenangnya (Ismail, 2009).
Itulah yang dilakukan oleh para tersangka kasus mafia tanah di Desa Malang Sari, menyalahkangunakan kekuasaan yang mereka punya untuk merenggut kesejahteraan warga yang seharusnya yang mereka ayomi untuk menjadi sejahtera. Patologi Birokrasi penyalahgunaan kekuasaan sudah menjadi penyakit yang merambat dihampir setiap instansi pemerintahan bukan satu dua kasus yang sering bermunculan dipemberitaan mengenai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Bagaimana dengan negara kita ini? Apakah akan terus menerus membiarkan penyakit tersebut menyebar sehingga dapat menyebabkan kematian pada pengaturan kekuasaan aparat pemerintah sesungguhnya.
Apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kasus serius ini, menurut saya pemerintah mulai memangkas para aparat yang ikut menyebar penyakit penyalahgunaan kekuasaan mereka sebelum banyak warga yang kehilangan kesejahteraannya oleh akibat penyakit yang menjalar ini. Lewat kasus mafia tanah ini juga dapat berakibat kepada kepercayaan publik. Kepercayaan publik sebagai evaluasi apakah pemerintah melakukan atau tidak tugasnya sesuai dengan harapan publik. berkurangnya kepercayaan publik merupakan kegagalan pemerintah dalam melakukan tugasnya. Padahal kepercayaan publik merupakan hal penting yang dibangun dalam birokrasi mengapa, karena lewat kepercayaan publik adalah fondasi dari legitimasi pemerintah. Ketika masyarakat memiliki kepercayaan pada birokrasi, pemerintah dianggap memiliki otoritas moral untuk mengambil keputusan dan memberlakukan kebijakan. Birokrasi yang diberi kepercayaan lebih mungkin dapat menjalankan tugasnya secara efektif. Kepercayaan publik memotivasi masyarakat untuk mematuhi kebijakan dan melibatkan diri dalam proses pemerintahan. Dalam situasi krisis atau keadaan darurat, kepercayaan publik dapat menjadi faktor kunci dalam membantu pemerintah mengelola krisis dengan efektif. Masyarakat yang percaya lebih cenderung mengikuti panduan dan kebijakan yang diberlakukan.
Kepercayaan publik, sebagai faktor penentu legitimasi dan efektivitas pemerintah, harus dijaga agar masyarakat tetap termotivasi untuk mematuhi kebijakan dan terlibat dalam proses pemerintahan. Dalam konteks kasus ini, peningkatan kepercayaan publik juga menjadi kunci untuk mengatasi dampak negatif terhadap masyarakat yang menjadi korban, serta untuk membangun kembali fondasi legitimasi pemerintah dalam menjalankan tugasnya secara adil dan bertanggung jawab.
Penulis:
MELANDHA HERIANY
M. ARI SOFIAN KURNIAWAN