Kutulis ini bersama deras hujan mengguyur padang hati, petrikor rasa yang pernah kau ungkap, sekali lagi berserak di ruang kenang. Ada butir rindu menyusup ke dalam pori jiwaku.Â
Kala itu, hadirmu membuat nadi intuisi yang sudah lama tertidur, kembali berdenyut, tertatih rambati ruang dan waktu, berusaha meraih ada mu, tetapi gagal. Mungkin detaknya terlalu lemah, tak ada kekuatan yang menyanggah. Andai saja hadirmu mengakar, pasti gejolak hidupmu 'kan tergapai sulur nadiku.Â
Sesungguhnya, tentangmu memang belum bisa kuterima sepenuhmya. Sebuah rasa yang kaulagukan bukanlah anggur yang memabukkan hati, melainkan anak panah yang berbalik bersama desir angin sepoi menelisik relung ungkapmu.
Nyatanya, tak dapat kuimbangi pola nada tebing sikapmu, yang bagiku, tidak selaras dengan partitur nyanyian cinta yang kau dendangkan. Buruknya, aku tak sanggup menurunkan standar kunci nada untuk lagu kasih sayangmu.Â
Kini hujan telah usai, rintiknya tak lagi menetes di pelupuk sanubari. Dengan lapang dada, kulepaskan tentangmu. Biarlah ia pergi bersama waktu yang tak dapat diputar ulang. Harapku, ia 'kan bersua dengan kekasih yang sanggup menyanyikan lagu cinta dengan kunci yang senada.
Sejatinya, kau dan aku memang tak bisa menyatu.Â
Jika kau masih melukis asa, akan dibawa kemana tentang kita nantinya?Â
Samarinda, 5 Maret 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI