Mohon tunggu...
Muhamad Nur Mekah
Muhamad Nur Mekah Mohon Tunggu... lainnya -

anak muda, masih muda dan mencoba berfikir muda..membebaskan fikiran dari dogma dan doktrin..mencoba mandiri dan kritis..memban lain untuk membantu orang untuk bisa tersenyum dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Danau di Timur

20 Februari 2014   06:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_296402" align="alignleft" width="300" caption="sumber foto: oncomku.blospot.com"][/caption] Sejak secarik kertas melayang tertiung angin dan terdampar di wajahku, sejak saat itu, kota menjadi sunyi. Terakhir, hanya bunyi derit roda pesawat yang bersetubuh dengan aspal landasan, yang terdengar.

Aku terdiam, menatap langit yang kosong. Lalu tertunduk, menatap tanah yang lebam. Sejurus kemudian, kilat menyentakkanku di langit yang cerah. Aneh, biasanya kilat hadir di langit yang gelap sebagai pertanda turun hujan. Tapi ini, di langit yang cerah.

Hanya sekali kilat itu hadir, tapi dia mengantarkan pesan, “Kau tetap disini, sampai nanti ada yang bisa menjemputmu. Biar yang lain pergi lebih dulu,” bunyi pesan kilat yang terlihat dalam sekelebatan cahaya terang.

Sejurus kemudian, sudah menjadi hukum alam, hujan pun turun. Langit tidak menangis untukku, tapi sepetinya itu air liur yang jatuh menertawaiku, karena hanya dalam hitungan menit, lalu langit cerah.

Aku pun diam, lalu mencoba berdiri tegar. Berbalik menatap jalan, mencoba berjalan dengan langkah gontai. Kanan-kiri kulihat, hanya bangunan bisu. Terus aku berjalan, bermeter-meter hingga berkilometer jauhnya, hanya ingin memastikan, masih ada makhluk hidup di kota ini.

Tepat tiga hari lamanya aku berjalan, angin di padang tandus pun mulai berhembus, berbisik-bisik ditelingaku.  “Berjalan ke timur, disana ada danau yang masih menyisakan air untuk diminum,” bisik angin.

Terhenyak aku mendengar bisikkan itu, sambil memperhatikan sekeliling darimana datangnya suara itu. Tak ada batang hidung manusia, bahkan seekor binatang melata pun tak terlihat. Aku pun terus melaju, dan sejurus kemudian anginpun datang kembali menggelitik tubuhku, sambil berbisik , “Ke timur,  ada sisa-sisa air disana,” tutur angin lagi.

Terdiam sejenak, lalu aku pun merubah haluan langkah kaki menuju timur. Entah ada apa disana, yang pasti kata angin, masih ada sisa air yang bisa diminum untukku. Lumayan pikirku, sudah berhari-hari lamanya berjalan tak ada segelas airpun bisa kuminum. Hanya tetesan air keringat di badan, yang kukumpulkan dibaju lusuh ini, lalu kuminum.

Belum juga sampai pada danau yang dimaksud, akupun mulai ragu. Sejauh mata memandang, hanya bukit yang terlihat. Tak terlihat tanda-tanda danau, yang mengandung air untukku. Lalu aku berpikir, apakah aku harus berlari-lari diantara bukit-bukit itu seperti halnya Siti Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwa untuk mendapatkan air? Andai saja aku seperti Nabi Ismail, yang tiba-tiba diberikan mukjizat keluar air dari jari jempolku.

Tapi, aku bukanlah Siti Hajar atau Nabi Ismail, aku adalah aku manusia biasa yang tidak punya kekuatan dan karunia apa-apa. Sehingga lambat laun, langkah kakiku semakin gontai berjalan. Dan akhirnya, pandangan mataku semakin buram dan gelap. Aku sudah tak tahu ada dimana sekarang.

Dalam kegelapan itu, tiba-tiba muncul sosok wajah yang samar-samar dihadapanku. Sosok pertama berkata, “Teruslah ke timur, disana kau sudah ditunggu. Akan ada kabar yang datang menghampirimu dalam perjalanan,”katanya. Tak berselang lama, sosok itu pun terus memudar dihadapanku dan menghilang. Aku pun seperti terhempas jatuh ke jurang. Lalu mendarat di tanah keras, sakit badanku.

Tak berselang lama, aku pun tersadar, masih di tempat yang sama. Kemudian mencoba bangkit untuk berjalan terus ke timur. Hingga akhirnya aku sampai di bibir danau. Terhenyak aku melihatnya, tak ada setetes air pun tersisa. Kering kerontang, seperti tanah tandus yang kuinjak.

Terduduk aku melihat kenyataan itu, tak tahu apa yang dimaksud dengan semua bisikkan itu. Bersujud aku di hamparan tanah yang kering, lama dan semakin lama tak bergerak. Tak ada air mata yang bisa keluar dari kelopak mataku, hanya bibir ini yang kupendamkan dalam tanah. Aku bercerita dengan tanah. Menumpahkan semua asa yang ada, menyerahkan raga ini untuk dilumat.

Hari berganti, matahari tak pernah melepaskan keangkuhannya membakar tubuh. Dan bulan menemaniku di malam hari. Hingga akhirnya, selembar daun, entah datang darimana, menyentuh kepalaku di malam hari. Di atas lembaran tersebut, tertulis sebuah kalimat, “Berbaliklah ke barat, dimana kakimu mulai melangkah. Bertapalah di titik nol, kau akan seperti bayi yang baru dilahirkan.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun