A: Ayo kerja,kok kamu nyantai aja?
B: Ah saya liburlah hari ini..malas saya. kamu juga libur dulu kek, bilang sakit atau apa. refreshing dulu coii!!
A: idih..kamu ini refresing terus terusan..bulan kemarin 3 hari bulan ini juga dah 3 hari..
B: Nyantai bro..
A: yah,,situ enak, saya nggak kerja dapat duit dari mana?. kamu keluarga kamu disini semua, nah saya.? kamu mau nggak saya tinggal ditempat kamu?
B: ya udah coii. dijalanin saja...nyantai bae!!!
A: nyantai apane!!!! nggak makan saya kalau nyantai terus.
note: si A itu pendatang dan B asli orang Pribumi.
............................................................................................................................................................................
Untuk menjadikan mimpi menjadi kenyataan maka tak jarang bila seseorang meninggalkan kampung halamanya sendiri dan memilih hidup merantau, menyendiri, bersusah susah. Kenapa harus berangkat dari tempat kita lahir? Hal ini didasari karena prediksi yang telah dibuat dalam pikiran bahwa dengan merantau siapa tahu peluang dan kesempatan untuk mendapatkan yang lebih baik lebih besar dari pada hanya menetap ditempat kelahiran. Biasanya kita akan berangkat menuju tempat yang lebih besar dan maju daripada asal kita sebelumnya. bagi sebagian budaya di negara kita,merantau dipandang sebagai sebuah keharusan, budaya turun temurun. diharapkan dengan merantau dapat menempa kepribadian kita, memperkaya pengalaman dan berusaha terus menerus untuk bekerja keras untuk mendapatkan apa yang telah dicita citakan. Kita lihat saja contohnya Malin Kundang yang rela meninggalkan ibunya sendiri di kampung halamanya sendiri, sementara ia berjuang sendiri diperantaun, ditempat yang ia belum kenal sebelumnya. Hal ini dilakukan demi mencapai cita-cita yang telah terseting di kepala.
Menjadi anak rantau berarti sama saja dengan main satu, tak ada opsi bantuan yang ada hanyalah tantangan dan tantangan. Nah karena tak ada bantuan inilah yang terkadang membuat mereka lebih dan lebih dibandingkan orang lain. Keterpaksaan, intimidasi, tekanan keadaan dan keharusanlah yang membuat anak rantau itu tetap menjaga spiritnya. Jika mereka tak seperti itu maka gelandangan, ketidak berhasilan, gigit jari atau bahkan tak bisa bertahan adalah pilihan terakhir. Tak ada yang akan menolong mereka tanpa diri mereka sendiri.
Tapi bila di sebuah tempat, kita masih hidup bersama keluarga dengan kata lain tempat itu adalah kelahiran kita maka walaupun kita terpojok, jatuh sekalipun tetap saja ada kerabat kita yang menolong. Bagaimana bila memang kalau dia itu perantau?? Yah tentunya tak ada uluran tangan dari keluarga. Apalagi dunia kota identik dengan siapa loe siapa gue, jadi permasalahan pribadi tak harus di intervensi orang luar, serta orang lain tak peduli sama sekali, lebih suka sibuk dengan urusan pribadinya. Tapi bila di desa atau ditempat yang masih menganut kebersamaan dan gotong royong maka ada kemungkinan pertolongan akan didapatkan serta masih ada rasa peduli antar sesama.
Jadi benarkah demikian adanya.
Salam sayang,