Mohon tunggu...
Meiva Sukma Anggraini
Meiva Sukma Anggraini Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi aktif Program Studi S1 Ilmu Komunikasi, sejak tahun 2022 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hutan Papua Bukan Tanah Kosong: Krisis Kemanusiaan demi Sebuah Keuntungan

10 Juni 2024   15:15 Diperbarui: 10 Juni 2024   18:51 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Kompas.com

Papua dikelilingi oleh hutan hujan tropis yang mempesona,  mampu memberikan keindahan alam tiada habisnya. Pegunungan menjulang tinggi, puncaknya diselimuti salju abadi, serta menyambut langit biru yang tak berujung. Namun, di balik keindahan alam yang memikat, masyarakat Papua sering dijadikan sasaran empuk oleh pengusaha dengan merampas hak-hak  mereka.

Sejak dahulu, masyarakat adat Papua sudah menggantungkan hidup dari alam. Sebagian besar yang menjaga hutan Papua adalah masyarakat adat dengan jumlah suku kurang lebih sebanyak 255. Hutan Papua menjadi hutan hujan tropis terbesar setelah Hutan Amazon dan Hutan Pristine. Hutan Papua menyimpan banyak keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Hutan ini memiliki 26.000 flora tropis terbesar, 620 jenis burung dan unggas, 126 mamalia yang akan terus bertambah setiap tahunnya. Selain itu, keutamaannya sebagai "benteng terakhir" kelestarian alam. Mengapa?

Indonesia merupakan salah satu negara dari lima teratas di dunia yang kehilangan banyak area hutan. Hutan yang berada di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi sudah dirusak oleh pengusaha dan pejabat yang hanya mementing kepentingan pribadi demi sebuah keuntungan. Hutan Papua mengalami ancaman serius karena industri ekstraktif. Sistem pembangunan sentralistik Indonesia menjadikan posisi Papua sebagai tanah kosong. Jika dilihat hutan Papua bukan "tanah kosong", hutan tersebut sudah lama dihuni oleh masyarakat adat Suku Awyo, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.

Pembabatan hutan secara besar-besaran dilakukan oleh PT. Indo Asiana Lestari (IAL) untuk membangun perusahaan sawit dengan membabat hutan Papua seluas 36. 094 hektar, yang sama luasnya dengan setengah luas Kota Jakarta. Pembabatan yang dilakukan oleh PT. IAL bukan hanya merusak hutan yang berada di Suku Awyu, melainkan juga merusak hutan adat yang sudah lama dikelola oleh masyarakat adat Papua seperti, Suku Moi yang menghuni hutan adat di wilayah Sorong, Papua Barat Daya, dan juga masyarakat adat Suku Wambun, dataran rendah di Kabupaten Boven Digoel. Hutan dibabat habis dengan ukuran yang begitu luas mampu menimbulkan dampak negatif yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat adat, melainkan juga dengan masyarakat Indonesia dan seluruh dunia.

Masyarakat adat yang sudah hidup bersama dengan hutan Papua sebelum Indonesia merdeka, menjadikan hutan tersebut sebagai Ibu. Maksudnya adalah hutan tersebut sudah menjadi tempat tinggal mereka, sumber pencarian makanan, obat-obatan, dan hasil buru lainnya. Jika dibabat habis oleh investor, maka bagaimana nasib masyarakat adat Suku Awyu, di mana mereka akan tinggal jika rumah mereka dibabat habis. Maka, Suku Awyu mengajukan gugatan kepada Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin tersebut. Namun, sangat disayangkan gugatan tersebut terhenti  di pengadilan tingkat satu dan dua.

Terhentinya gugatan tersebut, tidak membuat Suku Awyu putus asa. Mereka kembali melakukan permohonan pembatalan keputusan pengadilan kepada Mahkamah Agung, dibarengi dengan ajuan gugatan PT. Kartika Cipta Pratama dan PT. Megakarya Jaya Raya. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan sawit yang sudah dan akan di ekspansi di Boven Digoel. Jika perusahaan tersebut dibiarkan hingga masanya selesai, tanah yang sudah ditanam oleh sawit tidak bisa kembali dipakai. Sawit dapat membuat mineral yang berada di tanah habis. Jika mineral habis, maka tanah tersebut tidak bisa kembali ditanami oleh tumbuhan, dan tidak terdapat air yang akan dihasilkan.

Data Greenpeace menyatakan bahwa saat hutan adat Suku Awyu dibabat, maka dapat menimbulkan potensi emisi sebesar 23 juta ton karbondioksida. Hilangnya hutan akan mengurangi kapasitas bumi untuk menyerap CO2 dan kerusakan ekosistem global. Hal ini, dapat dikatakan bahwa pembangunan perusahaan sawit memberikan banyak kerugikan bagi masyarakat dibandingkan keuntungan. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat Indonesia untuk terus mendukung gerakan masyarakat adat Papua demi mengambil kembali hak-hak yang sudah direbut, serta keberlanjutan kehidupan di bumi.

Sumber rujukan :

All Eyes on Papua Viral di Medsos, Pakar Sentil Pemerintah Soal Pembabatan Hutan. (2024). Kumparan.

Sekilas Papua. (n.d.). Pemerintah Provinsi Papua.

Suku Awyu dan Moi Gelar Aksi Damai di Mahkamah Agung, Serukan Penyelamatan Hutan Adat Papua. (2024). Greenpeace Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun