Mohon tunggu...
Meitha KH
Meitha KH Mohon Tunggu... lainnya -

Meitha KH; lahir di Bandung pada tanggal 2 Mei 1982.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku Mencintai Banjir

25 Desember 2012   02:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:05 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain mencintaimu, aku juga mencintai Banjir. Barangkali, cintaku kepada Banjir jauh lebih besar dibandingkan cintaku kepadamu. Banjir yang kupeluk dua hari yang lalu, mampu menghilangkan kerinduanku padamu. Melewati jalan Cicalengka-Rancaekek-Cileunyi pada pukul satu dini hari, menjadi penawar luka masa lalu. Tentu saja, aku mengenal Banjir jauh lebih lama dibandingkan mengenal dirimu. Setiap tahun, Banjir selalu ada untukku. Jika Ia tak datang, Ia akan hadir di koran-koran, berita televisi, radio, dan media sosial. Aku tak perlu menanyakan kabarnya setiap hari melalui SMS atau BBM. Sebab Banjir selalu mengabariku terlebih dahulu. Aku merasa menjadi atasan yang selalu menerima laporan dari bawahannya setiap waktu. Sangat menyenangkan mendapat kabar terlebih dahulu sebelum kita menanyakannya.


Malam itu, tanpa sengaja aku bertemu Banjir. Tadinya, aku hanya akan melewati rumahnya saja. Tak ingin berhenti untuk mengetuk pintu rumahnya yang sudah lama tertutup. Tertutup untukku. Namun, seperti pepatah "kalau jodoh tak akan kemana", Banjir ternyata muncul dihadapanku begitu saja. Di pukul satu, saat langit hitam diterangi lampu-lampu, saat aku mulai mengantuk karena Bus yang kutumpangi tak juga melaju, saat enam jam berlalu tanpa ada rambu-rambu. Saat itulah Ia muncul, tepat di samping pintu. Pintu Bus itu.


Meski sedikit terkejut dengan kedatanganmu yang tiba-tiba di depan pintu itu, aku berusaha memperlihatkan wajah biasa-biasa. Aku pun keluar dari Bus, menghampirimu, memelukmu, mengusap airmatamu. Tak ada yang kubicarakan dengan Banjir. Ia hanya menemaniku berjalan melewati kemacetan. Lagipula, jikapun kami berbincang, suara kami akan terkalahkan oleh klakson kendaraan yang mulai tak sabar.


Tapi malam itu aku bahagia, Banjir memeluk sebagian tubuhku. Banjir mencium kaki dan lututku yang gemetar. Aku semakin rindu. Bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu di jalan itu. Jalan kenangan, tempat pertamakali Banjir membawaku ke rumahnya. Aku bahagia, meski tidak berkata-kata, Banjir di mataku seperti sungai jernih tanpa batu. Kurasakan betapa luasnya Ia mencintaiku. Mencintai kepergianku, mencintai pilihanku, mencintai kebebasanku.


Aku mencintai Banjir, jauh lebih besar dibandingkan mencintaimu.


Bandung, 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun