Memerhatikan pengaruh media televisi terhadap masyarakat awam membuat saya agak miris. Barangkali bukan agak lagi, justru sangat prihatin. Pengamatan yang saya lakukan dimulai dari lingkungan yang paling dekat. Keluarga, teman, bahkan anak. Ya, saya melihat media televisi jika dikonsumsi tanpa "filter" akan memberikan dampak yang negatif. Iklan, sinetron, film ternyata berpengaruh besar terhadap kehidupan dan pola pikir masyarakat. Topik ini memang sudah sangat "basi". Sejak jutaan hari yang lalu kita sudah tahu dampak yang akan diterima oleh masyarakat.
Sebutlah keluarga, bertahun-tahun nonton televisi (sinetron) membentuk pola pikir dan gaya hidup yang konsumtif. Setiap produk baru seolah-olah menjadi barang wajib yang harus dibeli. Kemewahan, konflik, memilih pasangan, semuanya menjadi cara pandang yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Busana yang dikenakan jika akan menghadiri undangan pun harus sama warnanya dengan tas, sepatu, dan perlengkapan lainnya. Ini bukan soal salah atau benar, tapi persepsi mengenai pantas, harus, malu, menjadi ayat atau hadist yang harus dipatuhi.
Pun dalam memilih pasangan. Pengaruh sinetron telah membentuk pola pikir sebagian masyarakat dalam memilih pasangan. Mencari suami yang mapan, sudah memiliki rumah dan kendaraan, dan sebagainya. Hal pertama yang ditanyakan orangtua adalah pekerjaan, bukan agama.
Agama. Mungkin kita akan mengembalikannya kepada panduan hidup sesuai agama masing-masing. Tapi ternyata, agama juga belum bisa menyelesaikan perkara ini. Ibu-ibu di sekitar rumah saya rutin mengikuti pengajian setiap minggu. Bahkan, ada yang setiap hari. Jika kita memahami dan menerapkan ajaran agama tersebut, tentu perubahan pola pikir dan gaya hidup yang berlebihan itu tidak akan terjadi.
Pengajian-pengajian yang digelar di sekitar lingkungan saya memang membahas banyak hal. Mulai dari syariat agama sampai hubungan dengan manusia. Tetapi, saya belum menemukan gaya atau dalam hal ini kita sebut saja "kampanye" yang secara konsisten mendobrak pola pikir dan gaya hidup sesuai tuntutan agama (islam). Entah karena kurangnya keterampilan "berdakwah" atau tidak ada konsentrasi kesana. Agama menjadi semacam kata-kata motivasi yang kita sadari pada saat itu lalu kemudian dilupakan.
Akhirnya, menurut saya pribadi, apapun pendekatannya, masyarakat harus mulai dibangun kesadaran untuk meningkatkan kapasitas dan memperbaiki mental. Barangkali, budaya membaca, budaya memahami, budaya berduskusi, bisa menjadi alternatif untuk persoalan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H