Miris dan ironis. Sebut saja A, seorang guru Taman Kanak-kanak di Kota Sukabumi Jawa Barat, yang sudah menempuh PGTK (Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak) menerima honor sekitar 300 ribu setiap bulan. Tentu saja, angka tersebut jauh mencapai kata cukup. Hal yang lebih menyedihkan, guru tersebut menjalani pekerjaannya dengan tekun dari hari Senin--Jumat, mulai pukul 07.30--11.00 WIB.
Biaya kebutuhan dasar untuk hidup di kota tersebut tentu beragam. Anggap saja kita akan berhitung dari angka yang paling rendah. Maksudnya, dengan gaya hidup yang paling hemat. Makan dua kali sehari dengan lauk seadanya bisa mencapai 30 ribu/hari. Itu hanya makan saja, belum dihitung kebutuhan membeli gas, listrik, pulsa, dll.Â
Pemandangan seperti itu bukan hanya terjadi pada guru TK. Untuk tenaga pengajar tingkat SD, SMP, SMA, Bahkan perguruan tinggi, tetap saja honor yang mereka terima masih di bawah upah minimum. Lantas, mengapa pekerjaan itu masih dilakukan?
Alasan yang paling sering saya dengar ketika melakukan wawancara terhadap beberapa pengajar adalah, keberkahan gaji/ honor dari seorang guru atau kecintaan mereka terhadap mengajar dan anak-anak. Maka tidak heran, banyak pengajar yang melakukan usaha sampingan seperti berdagang makanan ringan, kerudung, dll.Â
Dalam hal ini, saya tidak sedang berbicara soal guru atau tenaga pengajar lain yang berstatus ASN. Fenomena ini hanya terjadi pada guru-guru honorer yang beban kerjanya sama bahkan lebih dari mereka yang sudah berstatus ASN. Tentu saja tidak semua tenaga pengajar di lembaga swasta atau tenaga honorer mengalami hal serupa. Ada beberapa sekolah swasta yang sangat mahal (bukan hanya mahal tapi sangat mahal) memberikan gaji di atas ASN. Tetapi, hanya satu atau dua sekolah saja.Â
Berkaitan dengan hal tersebut, maka tidak heran jika sebagian tenaga pengajar tidak bisa mengembangkan kapasitas dirinya. Dalam hal ini, kualitas mengajar pun banyak yang diragukan. Mengapa demikian?Â
Kita kembali lagi kepada si A. Seorang ibu tunggal dengan dua anak yang masih sekolah, harus pergi setiap hari untuk mengajar. Selain itu, ia juga harus mengerjakan pekerjaan domestik dan mencari penghasilan tambahan lain untuk menutupi kebutuhannya. Sehingga, si A ini tidak memiliki waktu untuk meningkatkan kualitas dirinya dalam mengajar. Sampai 10 tahun ke depan, si A akan terus berkutat dengan pekerjaan rutinnya dengan honor yang sudah saya sebutkan di atas. Jika ada kenaikan honor, anggap saja 10% setiap tahun, Anda bisa menghitung sendiri, berapa honor yang akan didapat.
Bagaimana dengan guru-guru SD di sekolah swasta? Lebih kurang sama. Berdasarkan riset yang saya lakukan, guru-guru tersebut menerima gaji sekitar 1.500.000-2.500.000/ bulan. Dengan bekerja 8 jam/ hari ditambah mengurus urusan administrasi lain, tentunya upah ini tidak seimbang.
Begitu pula dengan dosen swasta di kota tersebut. Seakan-akan biaya pendidikan yang sudah dikeluarkan seorang dosen yang mencapai strata-2, tidak membutuhkan biaya yang banyak. Belum lagi, seorang dosen harus banyak membaca dan menulis, melakukan penelitian, juga pengabdian kepada masyarakat. Sungguh sesuatu yang miris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H