“Kegiatan kayak gini yang aku kangen dari Jogja.”
Tulisku di dinding facebook sambil meng-upload foto ketika aku membantu perpustakaan Mata Aksara menyelenggarakan perpustakaan keliling di alun-alun kabupaten Sleman. Bisa mengajak orang untuk membaca adalah kesenangan tersendiri bagiku. Karena membaca adalah langkah awal dari budaya literasi yang berakhir dengan karya. Seorang teman lalu mengomentarinya dengan bertanya dimana aku tinggal sekarang. Dia akan mencarikan orang yang juga menyukai kegiatan serupa. Lalu diarahkannya aku untuk menghubungi Kang Wildan, pengelola TBM Cibungur di daerah Batujajar.
Awalnya, aku sama sekali tidak punya ide dimana letak tempatnya, seberapa jauh tempat itu dari Padalarang, tempatku tinggal sekarang. Saat aku bertanya pada teman yang setahuku tinggal di Batujajar, dia menjawab, “Gak tau Meta. Tempat tinggal saya itu namanya aja Bajujajar regency. Tapi da wilayahnya masuknya Padalarang itu. Bukan Batujajar.”
Saat aku tanya cara sampai kesana, Kang Wildan menjawab, “naik angkot trus nyambung ojek.”
Aku lalu berangkat kesana pada hari minggunya. Naik bis dari Ciburuy, lalu naik angkot ke daerah Batujajar, akhirnya aku sampai di kampung Cibungur setelah nyambung ojek. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, aku lalu sampai di sebuah rumah dengan spanduk TBM Cibungur di depannya. Di sana, aku disambut dengan pemandangan beberapa orang anak yang sedang membaca buku. Ah, Betapa bersemangatnya mereka.
Aku lalu diajak bercerita oleh anak-anak yang ‘dipasrahi’ pengelolaan perpustakaan di sana. Aku takjub dengan Kang Wildan. Dia bisa mempercayakan pengelolaan TBMnya pada anak-anak yang masih sekolah.
“Kalau ada bikin proposal gitu, mereka yang bikin. Kita sih tinggal liat aja dan mbenerin kalo ada yang kurang.” Kata Kang Wildan.
Anak-anak itu pula, menceritakan kegiatannya dengan suka cita. Mereka menceritakan betapa menyenangkannya berproses di TBM Cibungur. Ada kakak-kakak relawan yang datang untuk mengajari mereka berbagai macam hal. Dari pelajaran sekolah, pelajaran agama, kesenian, dan ketrampilan. Mereka lalu menunjukkan karya mereka berupa video pembacaan puisi, buku antologi puisi, dan banyak foto kegiatan mereka.
“Harapannya sih, ada TBM disini, orang-orang jadi teredukasi. Gak mudah dibodoh-bodohin. Coba Teh, kan dulu longsoran bekas TPA leuwigajah kan sampe depan sana. Itu tanah jadi tercemar yang kayak gitu. Eh, mau dibuka lagi itu TPA nya.” Kata Kang Wildan.
Oleh Kang Wildan, aku lalu diajak ke TBM Asy Syifa dan bertemu dengan A Rendi. Pengelola TBM Asy Syifa yang punya semangat membara. Dengan berapi-api dia menceritakan rencana pembangunan TBMnya. Memang, untuk saat ini, TBM Asy Syifa masih banyak keterbatasan. Jumlah koleksinya yang masih terbatas jumlah dan variasinya. Demikian pula dengan ruangannya yang juga masih terbatas. Tetapi A Rendi dan tim sedang berbenah. Dengan semangat yang dia punya, aku percaya TBM Asy syifa bisa berkembang menjadi pusat kegiatan masyarakat di daerah itu seperti halnya TBM Cibungur.
Di akhir perjalananku hari itu, aku berkesimpulan, di tangan mereka nanti, kabupaten berusia 7 tahun ini akan terus berkembang. Aku yakin, di tangan anak-anak yang mencintai pengetahuan ini, ke depan kabupaten ini akan menjadi tempat yang nyaman. Tidak ada keluhan penambangan liar yang merusak lingkungan, tidak ada sungai yang berwarna pekat bekas limbah pabrik, atau pun bencana longsor yang sering menghantui kala musim hujan. Semoga.