Suatu hari, aku mendatangi seorang teman pengelola klinik swasta di Bogor untuk menanyakan kehidupannya sebagai pengelola klinik. Setelah beberapa bulan bekerja sebagai apoteker di klinik, aku punya keinginan juga untuk bisa menjadi pengelola klinik makanya aku menyambangi seorang kawan untuk bisa mengambil ilmu darinya.
“Sibuk Mei.” Jawabnya singkat.
“Gedegnya gue, kalo dokter gak masuk, trus gue harus cari dokter pengganti. Gue netepin uang duduk buat dokter itu, seratus ribu. Kalau pasien lebih dari 20 orang, ntar dia dapat uang lebih. Gak ada yang mau coba?” kata dia. “Baru deh, gue kasih 150 ribu ada yang mau. Itu juga setengah mati nyarinya. Ah, dokter ni, pelayanan apaan coba?”
“Omset klinik ini berapa emang?” tanyaku.
“Tujuh puluh sampe delapan puluh jutaan lah.” Jawabnya.
“Trus yang lo dapet bersih dari duit sekian itu berapa?” tanyaku.
“Bersih banget? Setelah dikurangi gaji, obat, barang habis pakai, dan penyusutan-penyusutan? Dua puluh sampai tiga puluh jutaan.” Jawabnya.
“Kebanyakan.” Komentarku pendek.
“Wajar dong, Mei gue ambil segitu…” katanya membela diri lalu memaparkan analisisnya sebelum aku potong.
“Kalo kamu aja bisa ambil segitu tiap bulannya, harusnya kamu gak keberatan untuk membayar doktermu lebih tinggi. Klinik ini bisa jalan kalau ada dokternya lho…” kataku. “Gak ada apotekernya gak apalah. Toh kalian bisa ngerjain pekerjaan farmasi. Tapi kalau dokter itu gak bisa diganti sembarang orang kan posisinya?”
“Ya tapi kan Mei…” orang itu masih mencoba membela diri.