Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelayanan Informasi Obat: Ada Telepon, Angkat!

27 Oktober 2016   07:48 Diperbarui: 27 Oktober 2016   08:02 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini adalah cerita seorang mahasiswa profesi Apoteker yang sedang menjalani praktek kerja di sebuah rumah sakit swasta di kota Jogja. Ada yang tau apoteker? Ya kalau kalian tau nama yang dipasang pada papan apotek adalah nama seorang apoteker. Lainnya?
Profesi ini memang tidak populer, bahkan Ian MacKillop seorang apoteker di Inggris menulis di forum sebuah website di internet bahwa perlu ada tokoh superhero yang berprofesi sebagai apoteker untuk memperkenalkan profesi ini.

Walaupun tidak populer, bukan hal mudah untuk menyandang gelar apoteker. Pertama, kita harus lulus dulu menjadi sarjana farmasi dengan menghadapi bertumpuk laporan praktikum, berlembar-lembar tugas pribadi, dan banyak presentasi kelompok. Saking tidak mudahnya menjadi sarjana farmasi, ada artikel yang menyebutkan bahwa jurusan farmasi adalah jurusan kuliah paling sulit ke 3 di Indonesia setelah kedokteran dan matematika. Setelah menjadi sarjana farmasi, kita harus sekolah lagi dalam program studi profesi apoteker yang isinya adalah tutorial dan praktek kerja.

***

Stase Pelayanan Informasi Obat adalah stase yang agak horror buat aku sebelumnya tetapi stase ini menantang karena kami harus bisa menjawab pertanyaan pasien atau tenaga kesehatan lain dalam waktu 20 menit.
***
Pagi-pagi jam 6.30 aku, Lela, dan Vicki, sudah berkumpul di basecamp. Kami ada janji dengan Bu Dita, apoteker penanggung jawab gudang yang sebelumnya adalah apoteker penanggung jawab PIO, untuk mendapat arahan pekerjaan di pelayanan informasi obat jam 6.45.
“Tau gak sih kalian, aku tadi berangkat dari rumah jam 6 pagi, langitnya masih gelap donk,” Kataku. Rumahku dan rumah sakit tempatku praktek jaraknya adalah setengah jam perjalanan. Entah sih, tetapi kalau di Jogja, sepertinya semua tempat itu jaraknya setengah jam dari rumahku.

“Masih ngantuk aku juga,” Kata Vicki sambil mengusap-usap matanya. “Apa-apaan sih Bu Dita ni, kenapa harus jam tujuh kurang seperempat? Awas aja dianya belum dateng.”
“Udah dateng kok orangnya, tadi aku ketemu di bawah. Katanya ntar kita di telpon. Dianya lagi sibuk gitu,” Timpalku.
“Dia mau ngomongin apa sih?” Tanya VIcki lagi. “Kan udah sama Bu Ola kemarin.”
Vicki tampaknya tidak rela harus bangun pagi untuk pertemuan ini. Tapi mau bagaimana lagi, kan kami yang butuh ilmu. Jadi kami yang harus menyediakan waktu kapanpun para mentor itu bisa.

Mbuh.” Kata Lela dengan logat Jawa Timurannya. “Yang gak enak itu kalau ntar ternyata yang diomongin gak jauh beda sama yang diomongin Bu Ola.”
Kami lalu menganggukkan kepala. Kemarin pagi, kami sudah bertemu dengan Bu Ola, penanggung jawab Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang baru menjabat beberapa minggu itu. Namun baik Bu Ola maupun Bu Dita meminta kami untuk berdiskusi dengan Bu Dita. Jadwal kegiatan kami hari itu harusnya dimulai jam 8 pagi untuk berdiskusi mengenai hal yang lainnya dengan apoteker yang lainnya, sangat berat memang untuk datang 1 jam sebelum seharusnya.

Jam 6.50, Bu Dita meminta kami ke ruangannya, yang berada di lantai bawah basecamp kami, untuk berdiskusi. Kami juga melihat Bu Ola sudah ada di kantor Bu Dita untuk berdiskusi dengan kami.
“Jadi, di layanan PIO kita biasanya menerima pertanyaan melalui telepon. Kalau nanti selama 2 hari kalian bertugas di PIO tidak ada pertanyaan, akan ada pertanyaan dari apoteker senior. Nanti, kalian setiap selesai menjawab pertanyaan, menulis di lembar PIO ini yah?” kata Bu Dita setelah berbasa basi selamat pagi.
“Iya, Bu. Bu Ola sudah memberitahu kami seperti itu kemarin. Ditambah, jam stand by kami dari jam 8 sampai 3.30 kan?” tanyaku. Jangan sampai dia mengulangi hal-hal yang sudah dibicarakan oleh Bu Ola.

“Iya. Trus apa lagi yah? Kalian sudah diberitahu Bu Ola tentang website apa saja yang bisa diakses dalam mencari jurnal untuk membantu menjawab pertanyaan?” Tanya Bu Ola.
“Sudah, Bu. Mereka juga sudah membuka folder yang ada di komputer di ruang PIO karena kemarin saya meminta mereka merapikannya,” Kata Bu Ola.
“Jadi apa lagi yah? Mereka sudah diminta untuk membereskan buku di ruang PIO?” Tanya Bu Dita pada Bu Ola.

“Sudah Bu, mereka sudah saya minta untuk merapikan, membuat label, dan menyampul buku yang belum ada sampulnya atau mengganti sampul yang rusak. Saya juga meminta mereka untuk menyortir buku-buku yang sudah lama untuk dinaikkan ke basecamp saja,” Kata Bu Ola.
“Kalau begitu, sudah tidak ada lagi donk yang bisa saya beritahukan pada kalian. Ya sudah, kalian kembali saja deh,” Kata Bu Dita pada akhirnya.
Kami lalu berpamitan dan keluar dari ruangan Bu Dita dengan raut muka macam-macam. Kok ya Bu Ola ni, bukannya ngobrol dulu sama Bu Dita. Minimal memberitahu Bu Dita apa saja yang sudah dia katakan ke kami. Tapi ya, namanya juga mentor. Atau mungkin mereka sibuk. Ya sudah Lah. Sudah sampai sini. Yang tampak sekali, raut muka kesal dari Vicki.

“Bu Dita ni apa-apaan sih? Kita disuruh dateng pagi cuma buat kayak gini aja?” kata Vicki saat kami berjalan menuju basecamp.
Aku hanya sanggup menggelengkan kepala, dan kegiatan selanjutnya akan berlangsung 50 menit lagi.
***
Tulit… tulit…
Telepon di ruangan PIO bordering. Aku, Lela, dan Vicki tidak bergerak hanya saling pandang. Jujur, aku malas dan enggan mengangkat telepon. Di rumah saja, kalau sedang menonton tv dan telepon rumah berbunyi, aku memilih untuk pura-pura gak denger lalu masuk kamar. Ini aku suruh angkat telpon?
“Dek, kalian kan di PIO, angkat tu telponnya,” Kata seorang apoteker senior yang saat itu sedang mencari berkas di ruangan PIO.
Aku masih tidak mau bergerak, sepertinya teman yang lain juga. Lalu, Lela mengangkat telponnya, ternyata telepon itu untuk Bu Rere, apoteker yang tadi menyuruh kami mengangkat telepon. Ya elah…

Karena sepertinya di antara Aku, Lela, dan Vicki tidak suka mengangkat telepon, kami lalu sepakat untuk mengangkat telepon secara bergantian. Tidak banyak telepon yang kami terima hari itu. Ada yang menanyakan harga alat kesehatan, ada yang mencari siapa, dan ada juga dari apoteker yang menanyakan dosis penggunaan obat.
***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun