Aku sebenarnya agak enggan untuk menuliskan ini, tetapi kenyataan yang merepotkan membuatku ingin sekali berbagi dan mengemukakan pendapatku tentang hal ini. Aku tidak pernah berniat untuk menjelekkan citra siapapun.
Pagi tadi, aku berdiskusi dengan kepala unitku tentang pengadaan barang. Di farmasi tempatku bekerja, ada 5 merek untuk sebuah antibiotika jenis tertentu.
“Banyak banget tau Bu. Gimana kalau kita sediain 2 merek ma 1 generik aja?” kataku. “Kalau dia ngeresep merek yang kita gak punya, kita konfirmasi aja. Bilang aja sama dokternya lagi kosong distributor.”
Bukan masalah apa. Terlalu banyak obat yang disimpan oleh suatu instalasi farmasi itu merepotkan. Kita bergelut dengan tanggal kadaluarsa. Belum lagi potensi kesalahan pengambilan obat yang bisa ditimbulkan karena terlalu banyak obat yang tersedia apalagi kalau penampakan obatnya sama.
“Kok kamu mau bohong sih?” tanya kepala unitku.
“Ya habis…” ucapku ingin menyanggah.
“Gak bisa donk Meta, dokternya kan pada didatengin medrepnya. Kita gak bisa bohong kayak gitu.” Kata kepala unitku.
“Ih, ngapain coba rep-nya pada datengin dokter gitu bikin kita gak bisa bohong.” Komentarku.
“Ih Mbak Meta, kamu gak tau bunyi klakson mobilnya dokter-dokter itu apa?” kata asisten apoteker yang ikut mendengarkan diskusiku dengan kepala unit.
Aku diem aja. Aku sudah sering mendengar gurauan itu.
Malam ini, aku ngobrol dengan temanku, seorang apoteker, dari rumah sakit lain.
“Aku kesel tau sama dokter kepala divisi medisku. Tadinya yah, tempatku itu nyari-nyari susu yang buat naikin berat badan bayi tuh susah banget. Dia juga sih yang ngeresepin. Kita sampe nyari ke ujung dunia gak ada. Kemarin, pas gak ada bayi yang butuh dinaikin berat badannya, tiba-tiba penggedenya pabrik susu itu tuh dateng, dan tiba-tiba gak tau apa ceritanya pagi-pagi aku dateng tuh di gudang farmasi ada 25 botol susu itu dan disuruh njual. Kadaluarsa 5 bulan lagi! Coba donk kamu bayangin!” teriak temanku itu.
“Ya kali, penggede pabrik mau apa kalo gak jualan dateng ke rumah sakit tempatmu, Cantik…” kataku.
“Beneran pingin kumaki-maki deh dokter kepala divisi medisku itu.” Kata temanku. “Awas dia gak bikin resep itu susu lagi.”
“Ish, kamu juga sama aja.” Kataku.
“Lah, kalo enggak… Itu ada barang kadaluarsa di gudangku. Siapa yang mau nanggung ruginya?” kata temanku.
***
Kayaknya bukan rahasia lagi kalau resep dokter itu ada pesan sponsornya. Makanya ada asisten apoteker di tempatku yang berkomentar, “Apa bunyi klakson mobil dokter itu?”. Mungkin ada yang pernah menonton video ini https://www.youtube.com/watch?v=wzoFtyStywk. Menarik ya?
Fenomena ini tidak hanya ada di Indonesia. Di luar negri, banyak juga kok dokter yang menerima payment dari industri farmasi. Jadi kalau ada yang bilang dokter luar negri itu ‘lebih bersih’ dari dokter di Indonesia, jangan percaya dulu. Aku baru selesai membaca sebuah artikel di BBC magazine yang e-paper edition dengan judul Should Drug Firms Make a payment to Doctors?.
Artikel ini dibuka dengan sebuah pernyataan yang diperdengarkan pada dewan senat di Amerika pada tahun 1974. Pernyataan tersebut adalah bahwa bila dokter bisa meresepkan obat dengan jumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu, dokter akan mendapatkan poin yang bisa ditukar dengan TV berwarna, jam mewah, atau barang mewah yang lain. Sekarang, kondisinya tidak jauh berbeda. Di artikel ini, diceritakan bila di Amerika, para pengamat memperhatikan bahwa ketika dokter menerima payment dari industri farmasi, mereka jadi cenderung meresepkan obat yang kurang penting untuk pasiennya, dengan jumlah yang lebih banyak, harga yang lebih mahal, tetapi mengesampingkan guideline yang berdasarkan evidence based (laporan penelitian yang bisa dipercaya). Payment ini juga membuat maraknya peresepan yang tidak sesuai dengan indikasi obat yang kita kenal dengan sebutan ‘off label use of medicine’.
Selain itu, adanya hadiah dari pabrik farmasi, membuat overprescription (peresepan yang berlebihan) pada antibiotika yang seharusnya penggunaannya terbatas karena efek yang tidak diharapkannya bisa sampai memicu kematian. Tidak hanya pada antibiotika, overprescription juga terjadi pada pereda nyeri golongan opioid sehingga bisa menyebabkan meningkatnya opioid addiction (kecanduan pada opioid) dan kematian akibat opioid overdose.
Karena itu, ada himbauan dari artikel ini daripada perusahaan farmasi menggunakan dana yang dimiliki untuk memberi payment pada dokter, mereka sebaiknya menggunakan dana yang dimiliki untuk mengembangkan produknya. Kalau produknya memang bagus, mereka tidak perlu membayar dokter supaya dokter menggunakan produk mereka tetapi dokter yang akan mencari produk mereka.
Tidak semua dokter seperti itu tentu saja.Di rumah sakit tempatku bekerja, ada dokter yang selalu meresepkan obat generik pada pasiennya. Pernah suatu kali farmasi kehabisan obat generik yang diresepkan oleh dokter tersebut. Saat aku konfirmasi untuk mengganti obat generiknya dengan obat bermerek, dokter itu berkata, “Terserah lu lah, lu atur aja. Yang penting jangan mahal-mahal. Kasian pasiennya.”
“Iya, Dok.” Jawabku. “pasiennya jaminan asuransi kok. Nanti saya sesuaikan dengan asuransinya.”
***
Di rumah sakit tempatku bekerja melayani pasien dengan berbagai asuransi. Diantara asuransi itu, ada dari mereka yang melakukan batasan berdasarkan merek. Jadi, misalnya untuk obat yang zat aktifnya adalah amlodipin (obat untuk tekanan darah tinggi), asuransi itu akan menjamin bila yang diberikan adalah generik atau merek tertentu yang ditunjuk oleh asuransi tersebut. Asyikkan kalau gitu? Jadi, apapun merek obat yang dituliskan oleh dokter akan secara otomatis diganti menjadi merek obat yang dijamin oleh asuransi tersebut.
Aku hanya berandai-andai, Bagaimana kalau semua orang menggunakan asuransi sebagai pihak penjamin kesehatan mereka? Nanti, pihak rumah sakit akan mengajukan daftar obat yang bisa disediakan dan pihak asuransi akan mengajukan daftar obat yang mereka percaya untuk diberikan pada kliennya. Dan mereka akan berdialog untuk menentukan obat merek apa yang dipakai dan obat merek apa yang tidak dipakai.
Jadi, pihak yang akan melakukan perjanjian adalah pihak asuransi, pabrik obat, dan rumah sakit. Biarkan mereka mencapai kesepakatan yang bisa menguntungkan ketiga belah pihak. Mereka memang pembisnis yang harus mencari keuntungan kan?
Memang tidak akan mudah. Ini artinya, klien asuransi hanya bisa berobat di rumah sakit yang bekerja sama dengan asuransinya. Tetapi bukankah selama ini juga begitu? Dan rumah sakit harus berdialog dengan beberapa asuransi untuk bernegosiasi tentang produk apa yang akan disediakan.
Tenaga kesehatan, tidak perlu dilibatkan dalam hal ini yang membuat mereka hilang konsentrasi dalam melakukan pelayanan pada pasien. Tidak akan terjadi peresepan obat yang tidak perlu ataupun overprescription toh mereka tidak akan mendapat apa-apa dengan melakukan itu. Dan mereka akan lebih fokus pada guideline pengobatan yang berlaku.
Bagian pengadaan obatpun cukup melakukan pengadaan sesuai dengan yang telah disepakati antara pihak asuransi dan pihak rumah sakit. Mereka tidak perlu lagi mengakomodasi pengadaan untuk kepentingan individu tertentu.
Aku tidak terlibat dalam bisnis asuransi, aku juga tidak iri dengan dokter yang mendapat payment dari perusahaan farmasi tetapi aku hanya punya ide dari apa yang aku lihat. Memang tidak semua asuransi bisa semenyenangkan itu. Ada asuransi yang kaku dengan membatasi hanya obat yang dijamin, ada juga asuransi yang membatasi hanya obat generik yang dijamin. Ini menurutku agak menjadi masalah juga. Kan tidak semua obat ada generiknya. Dan penyakit juga tidak hanya bisa disembuhkan dengan obat. Bisa saja dia hanya butuh suplemen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H