Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Manusia

30 Maret 2016   10:08 Diperbarui: 30 Maret 2016   10:14 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Jadi manusia teh kumaha?” tanya seorang teman di klub baca buku yang lebih pas disebut kumpulan orang resah. “Kata Buya Hamka mah ‘Kalau hidup sekedar hidup, babi juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kerbau juga bekerja.’ Trus urang kudu kumaha biar disebut manusia?”

“Iya bener. Kata orang tua kita harus belajar bener biar jadi orang. Emang selama ini kita bukan orang? Apakah yang namanya orang adalah yang kaya raya dan punya jabatan tinggi?”

Setelah berdiskusi panjang, inti dari pembicaraan ini adalah, bahwa menjadi manusia adalah memiliki tujuan hidup. Bagaimana menentukan tujuan hidup? Perbaiki hubunganmu dengan Tuhan dan mintalah petunjuk pada-Nya apa yang harus dilakukan.

Berminggu – minggu setelah pembicaraan itu aku membaca kumpulan essay yang ditulis oleh Cak Nun. Disini, aku menemukan jawaban bagaimana menjadi manusia.

Dalam bukunya yang berjudul Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, Cak Nun merasa resah sebab kefitrian natural kita sebagai manusia perlahan-lahan mulai menjauh dan kita serentak memasuki kefitrian kultural. Dalam kefitrian kultural, kita menyebut jatidiri kita adalah status sosial kita. Kita menyangka bahwa yang namanya diri kita adalah yang disebut pejabat, seniman, tentara atau apa saja. Padahal itu hanya profesi. Pakaian hidup. Fungsi sementara.

Dalam kefitrian natural kita hanyalah manusia. Hanya manusia. Bahwa gelar pangkat, fungsi birokrasi, dan lainnya hanyalah apa, sedangkan siapa kita adalah manusia. Menurut Cak Nun, banyak yang lupa akan hal itu. Beliau mencontohkan dengan gubernur dan businessman.

Saat kita menjadi gubernur, dimana pun, kita adalah gubernur. Di kantor, di rumah, di warung, atau di jalan raya. Bahkan saat solat pun harus disediakan tempat khusus. Ada kah Allah menerima solat gubernur di masjid atau yang bersujud itu sekedar manusia, hamba Allah? Padahal gubernur itu sebuah apa yang bersifar relative dan sangat sementara. Sedangkan sebagai manusia ini lah jalanan yang lebih dekat dengan keabadian, kefitrian, dan mata pandang Allah.

Seorang businessman tidak usah peduli apakah seseorang bisa membeli sesuatu atau tidak bahkan tidak usah peduli apakah seseorang sedang kelaparan atau tidak. Bila suatu hari dia peduli pada hal-hal semacam itu, maka yang memerdulikan adalah manusianya, bukan businessmannya. Sebab hanya manusia yang punya kondisi untuk concern terhadap manusia. Businessman dilarang untuk pusing terhadap kemanusiaan, sebab tugasnya adalah pengekspor cakrawala keuntungan dan hal hal lain yang manusia tidak sanggup melakukannya karena dibatasi oleh kebersamaan dan cinta kasih sosial.

Menurut cak Nun, businessman yang sukses, birokrat yang berhasil, pengusaha yang Berjaya, atau buruh yang lulus adalah yang dalam kariernya masing-masing sanggup menjadi manusia. Hanya manusia yang memiliki dan mengerti hati nurani untuk tidak serakah, tidak menindas, tidak mencuri dan mencurangi orang lain. Kalau budayawan, ulama, kiai, walikota, businessman, masih mungkin melakukan watak yang seharusnya tidak dilakukan manusia.

Tidak lah penting seorang presiden, milyuner, fakir, direktur, dan tukang sate. Pencapaian tertinggi seseorang adalah menjadi manusia. Segala jabatan, kedudukan, fungsi, dan titik orbit sosial manusia dalam sejarahnya adalah kendaraan dan peralatan untuk memperjuangkan bagaimana agar pada akhirnya lulus menjadi manusia. Menjadi ilmuwan, seniman, pemborong, menteri, serta fungsi sosial lainnya hanyalah kedudukan primordial, yang nilai akhirnya ditakar apakah ia memproduksi manusia atau mekanisme kebinatangan.

Sehingga, inti yang aku dapat, menjadi manusia adalah menjadi seseorang yang punya hati nurani. Ketika ada pengusaha yang ditanyai oleh karyawannya, “Bapak nyuruh kita kerja 8 jam penuh tanpa istirahat, emang bapak gak kasihan sama pegawainya?”

Pengusaha itu perlu bertanya pada dirinya sendiri, sudahkah dia menjadi manusia pengusaha atau dia hanya sekedar pengusaha?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun