Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Cerita tentang Antibiotika: Orang Ceroboh, Resistensi, dan Anak-anak

13 Oktober 2014   18:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:12 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413191106647339966

[caption id="attachment_366090" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi - Antibiotika. (Shutterstock)"][/caption]

Antibiotika

“Ibu, dalam paket obat ini terdapat antibiotika. Yang ini ya, Bu. Nanti diminumnya sampai habis,” kataku saat penyerahan obat di tempatku bekerja beberapa hari yang lalu.

“Jujur Mbak, saya gak pernah minumin anak saya obat sampe habis meskipun itu antibiotika. Habis kasian anak saya minum obat terus. Jadi kalo udah sembuh ya saya stop minum obatnya termasuk antibiotika,” kata ibu dari pasien.

Dengan panjang lebar aku lalu menjelaskan, kalau memang sakitnya belum lama, minta saja pada dokternya untuk tidak diberikan antibiotika. Aku rasa tidak akan ada masalah. Kecuali kalau dokter mendiagnosa adanya infeksi bakteri. Karena penggunaan antibiotika yang tidak tuntas dapat menimbulkan resistensi (kebalnya) kuman pada antibiotika jenis tersebut. Aku yakin si ibu tidak peduli dengan resistensi kuman secara global. Maka aku menjelaskan bahwa bila ibu itu terus berperilaku menggunakan antibiotika secara tidak tuntas, maka bila anaknya terserang infeksi akan sulit sembuh dengan jenis obat-obatan yang biasa.

Kemarin, saat aku penyerahan obat, ada seorang ibu yang anaknya baru sakit batuk pilek beberapa jam yang lalu. Oleh dokter diberi obat batuk pilek tanpa antibiotika. Si ibu menanyakan apakah dalam obat itu ada antibiotikanya. Aku berkata tidak ada dan ibu itu tampak kecewa. Aku lalu bercerita panjang lebar lagi tentang penggunaan antibiotika dan kemungkinan alasan dokter tidak memberikan antibiotika pada anak si ibu ini. Memang tidak semua pasien dokter ini mendapat resep antibiotic. Sepertinya si dokter cukup selektif untuk memilih pasien mana yang harus diberi antibiotika, pasien mana yang hanya perlu dikasih obat batuk dan pilek biasa.

Saat itu aku tau. Kampanye penggunaan antibiotika yang rasional pada masyarakat dan tenaga kesehatan yang selama ini aku pelajari dalam mata kuliah pelayanan informasi obat dan yang sering dilakukan tidak berhasil. Pasien masih berharap mendapat antibiotika dalam pengobatannya dan penggunaan antibiotika yang tidak tepat masih saja terjadi.

Antibiotika adalah kelompok obat yang dimaksudkan untuk mengobati dan dalam beberapa kasus dia digunakan untuk mencegah infeksi bakteri. Alexander Flaming, penemu dari penicillin (antibiotic pertama yang digunakan) menyadari bahwa antibiotika adalah obat yang berbeda dengan jenis obat yang lain. Obat ini bisa kehilangan efikasinya seiring berjalannya waktu. Jadi, semakin sering orang menggunakan antibiotika, semakin cepat antibiotika itu kehilangan efektifitasnya. Dan penggunaan antibiotika oleh seseorang, akan mempengaruhi efektifitas antibiotika itu terhadap orang lain. Alexander Fleming pernah berkata, "In such cases, the thoughtless person playing with penicillin is morally responsible for the death of the man who finally succumbs to infection with the penicillin-resistant organism. I hope this evil can be averted." –dalam kasus tertentu, seorang ceroboh yang bermain-main dengan penisilin secara moral dia bertanggung jawab atas kematian orang yang disebabkan oleh infeksi organisme yang resisten terhadap penisilin. Saya berharap kejahatan semacam itu bisa dihindari-.

Orang ceroboh yang dimaksud oleh Fleming sekarang, ada banyak jumlahnya sehingga resistensi bakteri terhadap antibiotika tampak sedang meluas dan menjadi bahasan yang penting di dunia kesehatan. Menurut kabar dari Koran Tempo yang diambil dari hasil penelitian AMRIN-Study, pada 2494 individu di Indonesia yang menjadi sample penelitian, 43% bakteri Escherichia coli (bakteri penyebab diare) resisten terhadap antibiotika jenis ampisilin, ko-trimoksasol, dan kloramfenikol. Beberapa pasien yang dirawat di rumah sakit malah mendapat infeksi dari Escherichia coli yang resisten terhadap ampisilin, ko-trimoksasol, kloramfenikol, siprofloksasin, dan gentamisin.

Resistensi adalah kebalnya suatu organisme pada obat tertentu. Sehingga gampangnya, orang yang terinfeksi bakteri yang resisten ini tidak akan bisa disembuhkan dengan antibiotika yang kuman itu resisten. Contohnya, bila seseorang terinfeksi Escherichia coli yang resisten terhadap ampisilin, ko-trimoksasol, kloramfenikol, siprofloksasin, dan gentamisin maka orang tersebut harus mendapat pengobatan selain jenis antibiotika yang sudah disebutkan. Dan itu biasanya adalah antibiotika dengan potensi yang lebih tinggi, dengan tingkat keamanan yang masih diteliti, atau dengan harga yang lebih mahal.

Siapakah orang ceroboh itu?

Seperti yang dikatakan pada paragraf awal, penggunaan antibiotika oleh seseorang akan mempengaruhi efektifitas obat ini pada orang lain. Sehingga penggunaan antibiotika yang tidak tepat oleh seseorang ceroboh inilah yang membuat bakteri tersebut kebal. Nah, pertanyaan pentingnya, siapakah orang ceroboh itu?

Dalam artikel di Medscape.com mengenai overprescribing antibiotic, dokter mengatakan bahwa mereka meresepkan antibiotika karena pasiennya yang meminta. Tetapi setelah Medscape mengadakan survey, hasilnya adalah 77% pasien yang disurvey tidak pernah meminta dokter untuk meresepkan antibiotika. Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa dokter sulit menerima hasil survey itu. Salah seorang dokter IGD bercerita bahwa 80% dari pasiennya berharap mendapatkan antibiotika.

Aku sih tidak memungkiri pasien berharap mendapatkan antibiotika ketika berobat ke dokter. Sebagai apoteker di rumah sakit, aku tau bagaimana orang tua yang memeriksakan anaknya ke dokter berharap dokter memberi resep antibiotika seperti ibu pada ilustrasi di paragraf awal. Tetapi di sisi lain, dokter pun ada yang meresepkan antibiotika dengan mudahnya. Sehingga buatku baik pasien maupun dokter sebagai kelompok orang, mereka sama saja.

Di Indonesia, menteri kesehatan negara punya tersangka lain yang patut disemati label orang ceroboh. Kelompok orang itu adalah apoteker komunitas yang menjual antibiotika pada masyarakat tanpa resep dokter. Sepertinya semua orang punya peran dalam penggunaan antibiotika secara ceroboh sehingga terjadi resistensi bakteri terhadap antibiotika.

Antibiotika dan Anak-anak

Menurut Theo Zaoutis, Chief of Infectious Diseases di The Children's Hospital of Philadelphia, kelompok yang banyak mengonsumsi antibiotika adalah pasien rawat jalan anak-anak. Dalam survey yang dilakukan oleh Medscape, mereka mendapat kesimpulan bahwa masyarakat menilai konsumsi antibiotika itu akan segera menyembuhkan bila anak-anak terserang infeksi bakteri dan tidak akan membahayakan bila ternyata tidak ada infeksi bakteri.

Sayangnya, antibiotika tidak sebaik itu. Selain masalah resistensi, yang menjadi permasalahan lain bila anak-anak terlalu banyak mengonsumsi antobiotika adalah anak-anak akan mengalami kejadian yang tidak diharapkan akibat dari efek samping antibiotika. Kejadian yang tidak diharapkan bisa terjadi secara langsung berupa kulitnya menjadi kemerahan, diare, dan infeksi Clostridium difficile. Dan dari literatur yang terbaru, penggunaan antibiotika yang terlalu sering dapat mengubah bakteri normal dalam saluran gastrointestinal yang menyebabkan anak tersebut bisa menderita penyakit autoimun, alergi, asma, dan berpotensi mengalami obesitas.

Pada penelitian yang dipublikasikan oleh JAMA pada tanggal 29 September 2014 kemarin, disimpulkan bahwa anak-anak yang sering mengonsumsi antibiotika terutama yang berspektrum luas resiko obesitasnya 11% lebih tinggi dibanding anak-anak yang tidak pernah mengonsumsi antibiotika.

Hal ini disebabkan karena antiboitika, terutama yang berspektrum luas, mengganggu keberadaan populasi bakteri flora normal yang ada di usus. Padahal bakteri flora normal yang ada di usus ini yang membantu proses metabolisme lemak dalam tubuh. Sehingga bila bakteri flora normal di usus ini keberadaannya diganggu, maka metabolisme lemak dalam usus juga terganggu dan beresiko tubuh mengalami obesitas. Pada masa anak-anak, adalah masa yang penting dalam pembentukan koloni bakteri flora normal.

WHO mendefinisikan obesitas sebagai terakumulasinya lemak dengan jumlah yang besar dalam tubuh sehingga beresiko mengganggu kesehatan. Bila dilihat sepintas, sepertinya tidak masalah anak-anak mengalami obesitas karena terlihatnya lucu dan sehat. Sayangnya, obesitas dapat membuat anak-anak mengalami penyakit seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular di usia yang muda.

Terganggunya bakteri flora normal yang di usus juga dapat menyebabkan terganggunya sistem imun karena bakteri flora normal yang ada di usus tersebut membantu pematangan jaringan yang terlibat dalam sistem imun. Dampaknya, anak bisa menderita penyakit autoimun seperti sindrom nefrotik (ginjal bocor), lupus, dan multiple sclerosis.

Jangan Ada Lagi Orang Ceroboh

Aku menyukai kata-kata terakhir di artikel di Medscape.com yang berjudul Can We Stop Overprescribing Antibiotics? Yang ditujukan pada dokter anak. Artikel itu berkata, “konsistenlah dalam meresepkan obat, dan pasienmu akan belajar. Mereka tidak akan datang bila pilek berlangsung kurang dari 4 hari. Jelaskanlah bahwa penyakit itu karena virus sehingga tak butuh antibiotika. Ajari mereka cara memantau penyakit mereka. Pasien akan mengerti dan belajar dan menghargai bila kamu mencoba melakukan praktek pengobatan yang benar. Tentu saja beberapa dari mereka akan marah dan memberi penilaian buruk padamu. Tapi siapa yang peduli? Kamu sudah mencoba melakukan pengobatan yang benar.”

Untuk apoteker di komunitas pun aku ingin mengatakan hal yang serupa. Jangan khawatir pasien memberi penilaian buruk pada apotekmu dan omsetmu berkurang karena tidak memberikan antibiotika yang mereka minta tanpa resep dokter. Karena mendapat penghasilan dari tindakan ceroboh aku yakin tidak akan terberkati. Kamu sudah mencoba menjadi orang yang bijaksana. Tuhan pasti akan membukakan pintu penghasilan yang lain.

Tapi karena aku sendiri bukan apoteker di komunitas, aku kurang merasa pantas berkata seperti itu. Yang aku harapkan adalah pemerintah tak hanya sekedar berbicara siapa yang bertanggung jawab mengenai masalah resistensi antibiotika dan penggunaan antibiotika yang tidak tepat. Aku berharap pemerintah membuat regulasi yang tegas tentang distribusi dan penggunaan antibiotika supaya bisa mengurangi tingkat resistensi.

Semua orang harus menjadi orang yang bijaksana dalam penggunaan antibiotika. untuk mengurangi dan mencegah orang yang meninggal karena terkena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun