Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukankah Kita Sama-sama Manusia? (Bagian Terakhir)

23 Juni 2016   12:46 Diperbarui: 23 Juni 2016   13:04 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada bagian pertama, Meicha diganggu oleh pemuda yang suka nongkrong di sekitar jalan tempat magangnya. Orang bilang, dia mengalami street harassment. Pada bagian kedua, Meicha merasa diperlakukan tidak adil oleh teman kakaknya yang tidak mau melihatnya tetapi berangkulan dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Pada bagian ketiga, Meicha bertemu Ustad yang mengumpamakan perempuan seperti kaleng minuman. Sekarang, apa lagi yang dialami Meicha?

***

Kelompok tenisku, kedatangan orang baru. Seorang dokter pria bernama Rezki. Sebelum dia datang, aku menjadi satu-satunya perempuan di kelompok yang berjumlah 5 orang ini. Dengan kehadiran dokter ini, aku semakin menjadi minoritas.

“Kenapa cowok lagi sih yang dateng?” keluhku.

“Yang aneh kamu kali, Mei. Gadis-gadis seusia kamu tuh ya, sore-sore gini mereka lagi minum teh sambil ngobrol di cafe, belajar masak, belanja baju, atau kursus kecantikan. Kamu, malah nongkrong di lapangan tenis cari keringat.” Kata Herman, salah seorang teman tenisku.

“Orang punya sukanya sendiri-sendiri, sih Man.” Kataku.

“Ya udah, kalau kayak gitu kamu jangan protes temennya laki semua. Soalnya sukanya kamu juga gak umum buat cewek.” Ujar Herman sambil membawa bola dan raket menuju lapangan sebagai tanda pemanasan akan dimulai.

Aku lalu mengambil raket dan mengikuti Herman menuju lapangan. Demikian juga dengan teman-teman yang lain. Kami lalu bermain tenis sepanjang 2 babak dengan durasi 90 menit. Kami lalu mengobrol dengan Rezki. Ternyata, selain dokter dia juga seorang aktivis Islam. Dia aktif mengkoordinasi kajian-kajian Islam di masjid di daerah tempat tinggalnya. Yang membuat dia menarik, dia tidak seperti aktivis Islam kebanyakan yang menyebalkan ketika berbicara dengan perempuan. Rezki mau melihatku ketika aku sedang berbicara seolah mendengarkan dengan seksama.

“Rezki, kamu kok mau sih ngeliat aku? Kamu gak ngerasa dosa?” tanyaku kemudian.

“Enggak sih, aku kan liat aku sebagai tanda kalo aku dengerin kamu. Kalo aku memalingkan muka, tau dari mana kamu dengerin aku apa enggak? Lagian gak apa kali liatin lawan jenis kalo ngobrol, yang penting seperlunya, sewajarnya, ngeliatnya biasa aja dan sopan, dan gak berlebihan sampe bikin risih.” Jawab Rezki.

“Ih, ganteng banget kamu emang.” Sahutku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun