Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Balada Dokter dan Apoteker: Perdebatan yang Belum Berujung

12 Juli 2016   11:13 Diperbarui: 12 Juli 2016   21:07 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: stok foto istimewa | huffingtonpost.ca

Hari ketiga Lebaran kemarin, aku membaca sebuah status seorang dokter yang mempertanyakan plang praktik apoteker di facebook. Bagi masyarakat awam, mungkin status ini hanya sebuah berita lalu. Namun bagi profesi apoteker dan dokter, ternyata status ini sangat menarik perhatian. Hal ini bisa dilihat dari jumlah like, share dan comment yang mencapai ratusan.

Bagi yang memperhatikan, memang ada hal yang agak lain di plang apotek belakangan ini. Selain plang nama apotek dan nama apoteker penanggung jawab, di apotek itu juga terdapat plang praktek apoteker lengkap dengan jam dan hari prakteknya. Sejak ada regulasi pemasangan plang praktek itu, aku sudah mendengar kasak kusuknya. 

Banyak orang mengira, plang praktek tersebut menandakan apoteker bisa praktik mendiagnosis dan mengobati seperti dokter. Padahal tidak seperti itu. Yang bisa dilakukan apoteker adalah membantu pasien yang mau melakukan swamedikasi (tentu dengan obat golongan bebas dan bebas terbatas bukan obat keras) dan memberikan informasi terkait obat.

Sebenarnya bagiku, plang praktik apoteker agak aneh juga. Bila ada apotek atau klinik yang buka dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam kemudian di situ tertulis apotekernya praktek jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Lalu sisanya, siapa yang menyerahkan obat pada pasien? Tidakkah masyarakat khawatir dilayani oleh orang yang bukan ahli obatnya? Gak khawatir kalau dia menyarankan obat yang salah?

Dia memiliki 2 alasan membuat status tersebut. Secara singkat, yang pertama adalah dia merasa ada jarak di antara dokter dan apoteker. Jarak tersebut karena belum saling pahamnya kompetensi dan kewenangan masing-masing profesi. Menurutnya, daripada menjadi kasak kusuk, terutama akhir-akhir ini karena masalah papan praktek, beliau sengaja menjadikan itu sebagai pintu masuk untuk saling memahami kompetensi dan kewenangan masing-masing profesi. Alasan yang kedua adalah karena beliau merasa penting memahami kompetensi dan kewenangan masing-masing profesi sehingga perlu baginya untuk membuat diskusi terbuka di status facebooknya tersebut.

Aku lalu menghabiskan waktu pagiku untuk membaca diskusi dalam status tersebut. Tadinya aku berharap dapat membaca sebuah diskusi yang ilmiah dan objektif. Tapi ternyata yang aku dapat sebagian komentar tidak jauh berbeda dengan saling cercanya pendukung Prabowo dan Jokowi. Jujur aku agak sedih. 

Orang yang lulus menjadi apoteker dan dokter dididik dengan tidak main-main. Empat tahun pendidikan sarjana dan 1–2 tahun pendidikan profesi. Masak diskusi kayak gitu sih? Untungnya dokter yang punya status menempatkan diri sebagai moderator yang baik. Beliau menghapus komentar yang tidak baik dan meminta penjelasan komentar yang ngambang.

Dokter tersebut dalam status maupun komentar tambahannya sebenarnya menyertakan tautan regulasi tentang profesi dokter dan apoteker serta hubungan keduanya di negara lain. Harapannya, orang-orang yang berkomentar bisa membuka tautan tersebut sebelum berkomentar atau menjawab komentar. Dia menyayangkan sebagian orang yang belum sempat membuka tautan sehingga diskusi ada yang bergerak ke saling cerca.

Ada seorang dokter yang menulis di kolom komentar, “Saya kasihan pada sejawat saya di sebuah kota X yang tadinya praktik kemudian tutup dan tempatnya menjadi toko asesoris mobil. Namun apotek di sekitar tempat itu pengunjungnya sangat ramai. Bila nanti apoteker merangsek ke pelosok, eksistensi dokter bisa terkubur dalam.”

Aku jadi mempertanyakan kepercayaan dokter tersebut pada ilmu yang dia miliki. Tidak mungkin apoteker bisa menggantikan dokter karena ilmu mengenai diagnosis penyakit kami yang apoteker ini tidak mendalam. Mengenai diagnosis penyakit, kami hanya sekadar tau. Ilmu spesifik kami mengenai obat. Tentang pembuatan obat, nasib obat tersebut dalam tubuh, dan perubahan apa yang dilakukan obat pada tubuh manusia.

Tak berapa lama kemudian ada yang berkomentar, “Saya dokter di kota X yang tempat prakteknya jadi toko asesoris mobil. Saya ogah-ogahan praktiknya karena harus disiplin. Padahal dibanding praktik, saya lebih menuruti jadwal touring yang tidak tentu. Kalau pasiennya dikasih dokter pengganti, pasiennya pada gak jadi periksa. Apotek dan dokter di sini segmennya beda kok dalam hal pengobatan. Apotek hanya melayani penyakit ringan seperti batuk pilek. Kalau yang gak bisa pake obat bebas, mereka akan lempar ke dokter. Praktik saya jangan dijadikan acuan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun