Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apoteker Penakut

3 November 2016   08:26 Diperbarui: 3 November 2016   08:58 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini adalah cerita seorang mahasiswa profesi Apoteker yang sedang menjalani praktek kerja di sebuah rumah sakit swasta di kota Jogja. Ada yang tau apoteker? Ya kalau kalian tau nama yang dipasang pada papan apotek adalah nama seorang apoteker. Lainnya?
Profesi ini memang tidak populer, bahkan Ian MacKillop seorang apoteker di Inggris menulis di forum sebuah website di internet bahwa perlu ada tokoh superhero yang berprofesi sebagai apoteker untuk memperkenalkan profesi ini.
Walaupun tidak populer, bukan hal mudah untuk menyandang gelar apoteker. Pertama, kita harus lulus dulu menjadi sarjana farmasi dengan menghadapi bertumpuk laporan praktikum, berlembar-lembar tugas pribadi, dan banyak presentasi kelompok. Saking tidak mudahnya menjadi sarjana farmasi, ada artikel yang menyebutkan bahwa jurusan farmasi adalah jurusan kuliah paling sulit ke 3 di Indonesia setelah kedokteran dan matematika. Setelah menjadi sarjana farmasi, kita harus sekolah lagi dalam program studi profesi apoteker yang isinya adalah tutorial dan praktek kerja.

***

“Harus ya, kita ke sini sekarang?” tanyaku sore itu. Jam menunjukkan pukul 5.45. Sebentar lagi magrib. Langitnya aja udah merah.
Siang tadi, aku, Lela dan Vicki mendapat tugas untuk mengecek kotak obat emergency yang berada di bangsal pasien pasca bedah. Kami diminta untuk melihat jumlah dan tanggal kadaluarsa obat-obat yang ada di dalam kotak tersebut. Bila jumlahnya kurang dari persediaan minimal kami harus meminta ke farmasi pusat, kalau jumlahnya berlebih kami harus mengembalikan dan kalau ada yang mau kadaluarsa atau sudah kadaluarsa juga dikembalikan ke farmasi pusat. Selain itu kami juga diminta untuk mencari pedoman tentang pengadaan kotak emergency yang terbaru tahun itu. Kalau ada.
Aku emang penakut, tetapi bukan tanpa alasan aku takut. Lihatlah bangsal rawat inap untuk pasien bedah itu. Bangunannya kuno banget, kata orang memang bangsal itu dibangun ketika Belanda masih berkuasa di Jogja dan sekarang, bangunan itu menjadi cagar budaya yang bisa digunakan tetapi tidak boleh dirubah bentuknya. Pasti banyak cerita yang disaksikan oleh bangunan itu dengan umurnya yang setua itu. Dan bisa jadi, ada cerita menakutkan yang masih disimpan oleh bangunan itu. Siapa yang mau menyangkal sih? Ini kan rumah sakit.
“Trus mau kapan lagi? Sekarang aja biar tugas kita selesai. Tugas yang lain masih banyak,” Kata Lela.
Aku mengikuti mereka dengan muka tidak senang.
Sampai di bangsal bedah, perasaanku jadi tidak enak ketika bertemu dengan perawatnya. Bukan apa-apa. Perawat itu terlalu cantik dan kulitnya terlalu putih, menurutku.
Saat mengecek kotak emergensinya, ada beberapa obat yang harus disimpan di lemari pendingin. Aku kemudian menanyakan obat yang di lemari pendingin itu pada perawat yang terlalu cantik.
Kenapa aku yang tanya sih? Rutukku dalam hati. Harusnya tadi begitu datang aku langsung pegang buku obat itu jadi biar orang lain yang tanya obat yang di kulkas.
Perawat itu lalu memberiku sekotak obat emergensi yang harus disimpan di lemari pendingin. Saat mau menerima kotak itu, aku mengamati tangan perawat itu dan aku memegang kotak itu tanpa menyentuh tangan si perawat.
Kami lalu menyelesaikan tugas untuk mengecek obat-obat emergensi, mendata yang akan kadaluarsa dan yang kurang. Setelah semuanya selesai dan kami mengembalikan obat yang harus diletakkan di lemari pendingin pada perawat, kami lalu balik ke basecamp.
“Dirimu kenapa sih, Mei, gak mau mbalikin obatnya ke perawat? Pucet banget lagi mukamu tu,” Kata Vicki.
“Kalian gak ngrasa po? Mbak perawatnya tadi tuh terlalu putih dan terlalu cantik tau. Serem aku,” Kataku. “Aku aja tadi pas minta obatnya pas nerima aku liat dulu, jangan sampai aku senggolan tangan sama dia.”
“Knapa emang? Gak apa senggolan tangan sama orang cantik. Kan ntar bisa ketularan cantik,” Kata Lela.
“Serem tau Mbak, kalo ntar tiba-tiba senggolan gitu ternyata tangannya nembus gitu, aku bisa pingsan di sana,” Kataku.
Kedua temanku lalu terdiam dan Vicki nyeletuk, “Dirimu lebay banget sih, Mei. Kalau dia tembus pandang, dia gak akan bisa megang obatnya donk.”
Iya juga yah? Pikirku.
“Baru tau aku orang yang penakutnya aneh banget kayak kamu,” Kata Vicki.
Ih, biar aja. Kataku.
***
Malam itu, setelah melakukan pelayanan penyerahan obat di rawat jalan, aku dan kelompokku nongkrong di rawat jalan untuk mantengin resep minggu lalu dan melihat bila ada kesalahan peresepan yang terjadi. Menurut data yang ada, resep minggu lalu berjumlah 3644 lembar. Kami memiliki tugas untuk melakukan sebuah penelitian yang luarannya bisa memaksimalkan pelayanan di farmasi. Aku dan kelompokku kemudian melakukan penelitian mengenai kesalahan peresepan.
Di rumah sakit ini sudah berjalan peresepan elektronik, namun resep manual juga masih diberlakukan sehingga kami kemudian membandingkan kesalahan peresepan yang terjadi antara yang elektronik dan manual mana yang lebih banyak terjadi.
Saat kami sedang berkutat dengan lembar-lembar resep itu, datang Bu Ola.
“Kalian ngapain?” Tanya Bu Ola.
“Liat resep, Bu.” Jawab Lela.
“Ngapain?” Tanya Bu Ola lagi.
“Tugas dari Pak Dandi, Bu,” Jawab Lela.
“Ngapain?” Tanya Bu Ola lagi.
Aku jadi ngeh kalau Bu Ola sedang menggoda kami.
“Ibu…” seruku.
Bu Ola lalu tertawa.
“Eh, aku boleh donk ngambil salah satu dari kalian bertiga,” Tanya Bu Ola. “Aku mau nyiapin asiklovir injeksi untuk pasien di ruang PICU. Salah satu dari kalian temenin aku ke ruang produksi yuk?”
Kami bertiga lalu saling berpandangan.
“Ibu takut di ruang produksi sendirian?” Tanya Vicki.
“Iya. Aku belum berani kalo di sana sendirian malam-malam,” Kata Bu Ola. “Ayo lah, dibawa itu resepnya boleh kok.”
“Sama Si Mei aja, Bu,” Kata Vicki.
Aku lalu menggeleng.
“Sama saya aja deh, Bu,” Kata Lela menawarkan diri. “Kasian kalau sama Si Mei.”
“Gak apa sama Si Mei. Kan sama sama penakut,” Kata Vicki. “Yang minus dikali minus aja bisa jadi positif kok. Siapa tau Bu Ola ma Si Mei bisa jadi pemberani.”
“Tapi minus tambah minus tu makin minus tau, Mas.” Jawabku.
“Ya udah lah. Mei di sini aja, ngerjain resep dengan banyak orang. Mbak Lela ayo ikut sama saya,” Kata Bu Ola.
Bu Ola dan Lela lalu keluar dari ruang farmasi rawat jalan.
Ruang produksi adalah ruangan tempat dimana apoteker menyiapkan obat-obat yang perlu diracik dengan kondisi khusus. Misalnya obat-obat injeksi, obat-obat untuk penyakit kanker, atau obat-obat sirup atau kapsul yang harus disiapkan dalam jumlah yang banyak.
Aku sih tidak heran Bu Ola takut berada di sana seorang diri malam seperti ini. Sering kalau siang juga suasana di ruang produksi singup. Aku sih gak pakai berfikir langsung bilang gak mau kalau harus kesana seorang diri.
Jam menunjukkan pukul 8 malam ketika aku dan Vicki selesai membereskan resep yang kami buat berantakan namun belum ada tanda-tanda dari Lela dan Bu Ola kembali dari ruang produksi.
“Mereka baik-baik aja kan disana?” tanyaku pada Vicki.
“Tolong ya, Mei…” kata Vicki. “Kayaknya Bu Ola bukan cuma ngoplos satu deh. Ku BBM si Lela dulu deh.”
Tak berapa lama Vicki membereskan barang-barangnya.
“Ayo Mei pulang,” ajak Vicki. “Lela masih lama katanya.”
“Gak apa kita duluan?” tanyaku.
“Mbak Lela bukan kamu, Mei…” jawab Vicki.
***
Esok paginya, aku bertemu Lela karena kami mendapat jadwal untuk melakukan pelayanan pemberian obat bersama. Lela lalu bercerita pengalamannya semalam berada di ruang produksi.
“Memang serem sih, kan sepi banget gitu. Lagipula ruang produksi kan jauh dari mana-mana,” kata Lela. “Sama Bu Ola, aku gak boleh lepas dari pandangan matanya. Sampe-sampe aku pingin ke toilet aja ditahan. Padahal ruang produksi kan dingin.”
“Kalo aku sih mending gak ke toilet dulu,” komentarku. “Serem tau toilet di ruang produksi tuh. Siang aja aku gak pernah donk kesana. Apalagi malem.”
“Kamu itu, bagian mana sih dari rumah sakit ini yang gak bikin serem Mei?” tanya Lela.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun