Sambil menunggu obat datang, aku tempo hari menonton video ceramah Cak Nun di Youtube. Bagian yang menarik dari ceramah itu adalah Cak Nun menyindir seorang ulama yang mengatakan bahwa agama jangan dicampur dengan budaya.
“Klambimu kui hasil budaya lho, nek agama raoleh dicampur karo budaya, pas solat do wudho. Terus nek munggah kaji, ojo do numpak pesawat. Pesawat kui hasil budaya le gawe wong kafir. Le menyang Mekkah mbrangkango kono.” Kata Cak Nun dengan bahasa jawa yang tidak halus. Intinya, baju itu hasil budaya. Jadi kalau agama tidak boleh dicampur dengan budaya, kalau solat telanjang aja. Kemudian kalau naik haji jangan naik pesawat. Pesawat terbang itu hasil budayanya orang kafir. Berangkat ke Mekkahnya merangkak aja sana.
Mendengar kata-kata itu, aku jadi teringat adegan di film yang menceritakan tentang Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah. Diceritakan disana, seorang Kiai datang dari Magelang ke Jogja untuk melabrak Ahmad Dahlan yang membuka pesantren dengan atribut meja dan kursi. Kiai tersebut melabrak Ahmad Dahlan karena meja dan kursi adalah perlengkapan belajar orang kafir.
Saat itu dengan santainya Ahmad Dahlan berkata, “Kiai kesini naik apa?”
“Kereta.” Jawab Sang KIai.
“Kereta itu buatan orang Belanda lho, Orang kafir.” Begitu kira-kira komentar Ahmad Dahlan yang membungkam sang Kiai.
Astagaaaa… ternyata orang itu memang susah move on. Dari jaman Ahmad Dahlan sampai sekarang Cak Nun udah gak muda lagi, permasalahan masih aja sama. Yang diributin masih sama. Sampe berpuluh-puluh tahun setelah Ahmad Dahlan melontarkan kata-kata itu, Cak Nun harus mengucapkan kata-kata yang senada. Sebenernya kita ini kenapa sih?
Kemarin, terjadi ribut-ribut supir taksi yang pada demo meminta transportasi umum berbasis online dibubarkan. Lalu pada suatu acara TV, diundang seorang supir taksi online. Supir taksi online itu lalu bercerita, asalnya dia juga kesulitan menggunakan gadget. Tetapi dia lama-lama belajar cara menggunakan gadgetnya. Kemajuan teknologi ini gak bisa ditolak atau dilawan. Kalau bisa, kita mempelajari teknologi yang merupakan hasil budaya itu supaya kita bisa memanfaatkannya untuk mencari nafkah dengan lebih baik.
Nah, supir taksi aja, bisa lho berpikiran kayak gitu. Masak iya sih ulama gak bisa berfikir sepositif itu. Bukannya aku mengecilkan supir taksi dan berekspektasi terlalu tinggi pada ulama. Semua tergantung pribadi masing-masing orang memang. Tapi mbok tolong sih….
Masih banyak lho yang bisa diributin selain hal itu-itu lagi. Misalnya bagaimana supaya anak-anak jalanan dapat pendidikan yang baik sehingga mereka bisa hidup dengan layak. Atau bagaimana supaya orang-orang lanjut usia yang pada masih bekerja karena himpitan ekonomi dapet santunan supaya mereka bisa beristirahat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H