Aku kadang bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa ya rasanya menjadi sampah plastik? Plastik itu kan diciptakan oleh manusia untuk mempermudah hidup.
Lemari plastik, misalnya, dia sepertinya sangat tidak mungkin dimakan rayap seperti halnya lemari kayu. Lemari plastik juga sangat lebih ringan daripada lemari kayu sehingga lebih mudah untuk dipindah tempatkan.
Aku pernah menonton video di Channel YouTube milik BBC News Indonesia. Video itu menjelaskan bahwa kantong plastik awalnya diciptakan untuk menggantikan kantong kertas dan menyelamatkan dunia.
Kantong kertas dibuat dari pohon. Semakin banyak kantong kertas digunakan, makan semakin banyak pohon yang ditebang. Belum lagi, produksinya butuh energi dan air yang lebih banyak daripada produksi kantong plastik.
Di sisi lain, plastik sebagai sampah adalah mimpi buruk karena sulit terurai. Sampah-sampah plastik yang memenuhi got dan sungai menyebabkan meluapnya air di musim hujan yang berakhir dengan banjir. Dan sampah plastik yang ada di lautan mengakibatkan kerusakan habitat laut dan melukai hewan-hewan laut.
Buku "Sampah di Laut, Meira", yang ditulis oleh Mawan Belgia, menjawab pertanyaanku tadi. Buku terbaru dari Buku Mojok ini menceritakan tentang sampah-sampah yang ada di laut dengan sudut pandang yang berbeda.
Tokoh utama cerita ini bernama Cola, botol plastik minuman bersoda. Cola memulai perjalanannya dari pabrik, kemudian tersimpan lama di lemari pendingin sebuah warung, hingga berakhir tersangkut di terumbu karang di dasar laut.
Tadinya, dia mengira dirinya adalah pembawa manfaat karena dalam dirinya tersimpan minuman yang dapat membantu manusia melepas dahaga. Ditambah lagi, dia kedatangan sosok yang bernama Ilham yang memberikan banyak pengetahuan padanya.
Sayangnya, seperti kata pepatah: habis manis sepah dibuang. Cola merasa sakit hati setelah minuman dalam tubuhnya habis ditenggak manusia dan Cola dicampakkan di pinggir jalan. Cola bertambah marah ketika diolok-olok oleh sampah daun sebagai perusak lingkungan.
Dalam perjalanannya, Cola tahu bahwa ada kelas-kelas atau strata dalam dunia persampahan. Kelas sampah yang mudah terurai seperti daun-daun yang berguguran di tepi jalan, cenderung lebih superior dibanding yang lainnya. Apalagi dibanding botol plastik seperti Cola yang butuh waktu puluhan tahun untuk terurai. Sudah seperti geng-gengan anak SMP, ya?
Pada akhirnya, Cola sadar, bahwa dirinya memang sudah menjadi sampah. Dia berharap ada manusia yang mau mendaur ulangnya sehingga dia tidak berakhir sebagai perusak alam. Tapi harapan itu menjadi setipis benang, manakala dia sadar bahwa bahkan manusia yang tidak berguna bagi manusia lainnya juga dianggap sebagai sampah.