Pagi ini, aku membaca sebuah pengumuman sebuah kelas pengelolaan keuangan di Jogja. Judul acaranya adalah "Bertahan Hidup dengan UMK Jogja".Â
Acara ini diisi oleh seorang content creator dan seorang perencana keuangan. Tidak gratis tentu saja. Acara yang dilabeli kelas premium ini berbayar 200 ribu rupiah. Kalau pendaftarannya sebelum tanggal 25 Januari 2020, bayarnya 150 ribu rupiah.
Apa yang akan dibahas dalam kelas tersebut? Menurut posternya, kelas ini akan membahas tentang tren konsumsi, prioritas masa depan, pengelolaan gaji UMK sehingga kalau mau traveling masih bisa, dan referensi produk keuangan yang murah.
Banyak yang menanggapi pengumuman ini secara negatif. Menurut mereka, uang 150-200 ribu itu sangat mahal untuk orang-orang yang memiliki penghasilan setara UMK di Jogja.Â
Bahkan ada satu komentar yang berkata, "baru tau kalo UMK rendah itu solusinya bukan bikin serikat pekerja dan mendesak pemerintah untuk ngubah kebijakan, tapi dengan cara bayar 150-200k buat ikut kelas ginian. Oke deh."
Memang berapa sih UMK di Jogja?
Kemarin, di dalam taksi online, aku mendengar suamiku dan supir taksi itu mengobrol. Mereka membicarakan tentang perpindahan beberapa perusahaan besar dari Jawa Barat ke DIY dan Jawa Tengah karena UMRnya yang rendah.
"Ya kalau dipikir-pikir sih benar juga. Uang yang digunakan oleh pengusaha untuk membayar gaji karyawan di Jakarta, bisa digunakan untuk menggaji 2 orang di sini. Masih ada sisa lagi," kata Sang Supir yang baru pindah beberapa tahun lalu dari Jakarta ke Jogja.
Gini yah, ini pendapatku saja. Membuat serikat pekerja dan mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan adalah ikhtiar yang baik untuk solusi UMK rendah.Â
Masalahnya, itu adalah kerja kolektif. Kita tidak bisa melakukannya seorang diri. Dan berapa lama waktu yang kita butuhkan sampai pemerintah bersedia merubah kebijakannya?
Secara individu kita juga butuh mengusahakan agar uang yang kita miliki bisa mencukupi kebutuhan kita. Dan ini butuh ilmu. Pernah lihat kan, ada orang yang besar pasak daripada tiang?Â
Sampai situasi berubah, mungkin sampai pemerintah mau lebih memikirkan rakyat dan lingkungannya daripada pengusaha, kita harus bisa bertahan dengan kondisi yang ada.
Sebenarnya pengetahuan tentang cara pengelolaan uang ini penting. Makanya, kalau teman-teman tahu, salah satu dari 6 literasi dasar yang sering dibicarakan oleh pegiat literasi adalah literasi keuangan. Walaupun kalau sudah tahu nanti komentarnya, "halah, gini doank." (Aku kayak gitu soalnya. Haha).