Kurma di Ladang Salju adalah buku tentang pengalaman mahasiswa China kedua yang aku baca. Buku yang pertama berjudul Ada Apa Dengan China?. Membaca kisah seseorang yang berada di luar tempatnya tinggal selalu menarik bagiku. Bukan tentang apa yang dia lihat di sana tapi tentang bagaimana dia memaknai apa yang dia lihat di sana.
Misalnya saja di "Catatan Pertama: Bahasa dan Budaya" dalam buku ini. Ali Romdhoni, penulisnya, melihat bahwa huruf China (Han Zi) itu ada buanyak sekali. Bentuknya sendiri unik dan rumit. Belum lagi, China adalah negara yang menerjemahkan bahasa Inggris seperti computer, television, dan passport ke dalam bahasa mereka sendiri seperti diannao (computer), dianshi (television), dan huzhao (passport). Bandingkan dengan Indonesia yang menggunakan huruf latin dan bahasa inggris yang disesuaikan.
Dari hurufnya, Dhoni kemudian menghubungkan dengan karakter orang China yang pekerja keras dan terbiasa dengan hal-hal yang rumit. Dari bahasanya, Dhoni melihat bagaimana sebuah negara yang sangat berdaulat. Mereka menyaring kebudayaan asing yang masuk dengan sedemikian rupa dan memilih menuturkan bahasa mereka sendiri.
Tulisan semacam ini tentu bukan saja menjadikan pengalaman penulis berharga. Ini juga membuat pembaca sepertiku belajar. Aku harus bisa berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar dulu sebelum aku sok-sokan menggunakan bahasa campuran seperti anak Jaksel.
Di "Catatan Kedua: Pendidikan", Dhoni melihat bagaimana peran wali murid atau orangtua. Ketika akhir semester tiba, Dhoni mengambil laporan hasil belajar putrinya. Guru kelas putrinya menjabarkan dengan detail laporan kegiatan dan kondisi belajar para siswa. Mungkin seperti di Indonesia juga. Aku pernah mengambil rapor akhir semester adikku. Gurunya menjelaskan secara umum hasil belajar murid-muridnya dalam sebuah forum yang berisi orangtua murid.
Bedanya, di forum orangtua murid putrinya Dhoni di China ini tidak ada orangtua murid yang sibuk sendiri. Para orangtua menyimak dan mengikuti dengan sungguh-sungguh ketika guru memberi keterangan. Mereka memiliki kultur menghargai forum.
Hal-hal semacam itu tentu bukan saja tanggung jawab guru akademik. Orangtua juga harus berperan serta dalam membentuk karakter anak. Gimana logikanya kalau orangtua ingin didengar oleh anaknya tapi dianya sendiri tidak bisa menghargai orang lain yang sedang berbicara?
Adakah yang pernah melihat video seorang pengemudi yang memetik bunga yang ditanam di pembatas jalan tol? Itu menjadi viral karena bunga yang dipetik lokasinya berada di jalan tol. Kalau ada orang yang memetik bunga di taman, mungkin dia tidak akan menjadi viral. Namun apakah itu menjadi perbuatan yang benar?
Dalam tulisan berjudul "Dipetik, Bunga Dicampakan", Dhoni bercerita tentang masyarakat Harbin yang bergembira ketika bunga di Heilongjiang Forest Botanical Garden bermekaran. Ribuan orang di kota itu datang, ber-selfie, dan duduk-duduk di bangku taman sambil menikmati keindahan bunga.
Menariknya, di antara ribuan orang itu tidak ada yang membahayakan keindahan bunga-bunga yang rentan itu. Mereka tidak ada yang tergoda untuk memetiknya. Mereka semua sadar bahwa butuh waktu lama untuk bunga-bunga itu tumbuh kembali. Mereka sadar bahwa bunga-bunga itu milik umum. Hal-hal semacam ini juga harus diajarkan oleh orangtua selain oleh gurunya.
Apakah teman-teman ada yang menganggap pemerintah China itu melarang masyarakatnya untuk beragama dan beribadah? Sepertinya seru ya untuk tahu bagaimana kehidupan muslim di China apalagi membaca segala pemberitaan di media hari ini tentang apa yang terjadi di Xinjiang.