Ada yang tahu apa itu pekerjaan low skill? Di Jakarta, sejak beberapa bulan lalu, isu pekerjaan low skill ini banyak dibicarakan di ruang-ruang diskusi. Salah satunya pernah aku bahas di sini.Â
Orang-orang 'pintar' mengkhawatirkan digitalisasi di Indonesia yang menyerap tenaga kerja berketrampilan rendah seperti tukang ojek, pengantar barang, dan sejenisnya.
Aku sih tidak punya masalah dengan pekerjaan itu. Menurutku, itupun pekerjaan baik. Yang penting orang-orang tidak melakukan hal yang buruk. Yang kemudian menjadi terlihat salah adalah ketika orang-orang di sekitarku, jarang ada yang mengapresiasi pekerjaan orang.Â
Orang lebih banyak mengapresiasi orang lain berdasarkan uang yang dia dapat. Tidak heran bila banyak orang yang korupsi.
Beberapa hari yang lalu suamiku bercerita, seorang tetangga di rumah orangtuanya ada yang sampai nyogok supaya anaknya bisa sekolah perawat. Ketika anaknya lulus sekolah beberapa tahun lalu, gaji pertama anaknya sebagai perawat adalah satu setengah juta.Â
Tetangga mertuaku ini menyesal, kesal, dan berkata, "ngapain sekolah perawat mahal-mahal sampai nyogok segala kalau gajinya hanya satu setengah juta? Mending menjadi tukang ojek, uangnya bisa sampai 3 juta sebulan."
Menurutku, kita tidak seharusnya membandingkan satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya melalui besaran gaji yang didapat. Ini tidak adil. Karena banyak orang yang sedang berusaha mengerjakan pekerjaan yang disenanginya walaupun belum mendapat uang yang banyak.
Aku ingin bercerita sedikit tentang pekerjaan. Cerita ini aku dapat dari bab 5 buku Outliers karya Malcolm Gladwell. Diceritakan ada sepasang suami istri dari Eropa yang berlayar dari Hamburg menuju Amerika.Â
Ketika tiba di Manhattan, Sang Suami mencari pekerjaan. Ketika melihat orang-orang yang berjualan keliling, dia kemudian membujuk seorang penjual ikan yang dia kenal supaya bisa menjajakan ikan.
Dari menjajakan ikan, dia mendapat uang yang cukup banyak. Namun dia tidak berhenti di situ. Suatu hari, dia memutuskan untuk berjualan baju. Baju seperti apa yang mau dijual?Â
Untuk menjawab ini, dia kemudian pergi ke jalanan dan menuliskan apa yang dikenakan orang-orang dan apa yang dijual oleh toko baju. Dia harus mendapatkan barang "baru", Sesuatu yang dipakai orang tapi belum dijual di toko. Setelah 4 hari, dia kemudian menemukan bahwa barang yang ingin dia jual adalah celemek.
Besoknya, dia membeli seratus yard (91,44 m) kain bergaris dan lima puluh yard kain renda putih. Sang Istri kemudian memotong kain-kain tersebut dan membuat celemek dengan mesin jahit yang dibeli ketika baru sampai di Amerika. Jadilah 40 celemek anak.Â
Pada pukul sepuluh besoknya, Sang Suami menjajakan celemek. Celemek tersebut habis dalam waktu 4 jam. Mereka kemudian membuat lebih banyak celemek dan bermaksud untuk membuka toko pakaian.
Saat Sang Suami pulang ke rumahnya setelah mendapat ide untuk menjual celemek anak, dia sampai menari-nari karena kegirangan. Dia memang belum menjual apapun.Â
Dia masih menderita dan tahu bahwa untuk membuat gagasan terwujud dibutuhkan waktu bertahun-tahun penuh penderitaan lagi. Namun dia sangat gembira, karena kerja keras selama yang dia akan lalui dengan penuh penderitaan itu bukan beban baginya.
Diceritakan juga, di awal merintis usahanya, Sang Suami mungkin merasa lelah, miskin, dan kewalahan. Namun dia tetap hidup. Dia tidak hanya sekadar berjualan, tapi dia menggunakan imajinasi dan pikirannya dalam bekerja.Â
Ini yang kemudian membedakan Sang Suami, dengan penjaja keliling biasa. Dia melakukan penelitian pasar (tanpa disadarinya) dan produksi. Dia membuat pekerjaannya terlihat berharga.
Nah, kalau teman-teman sedang dalam fase merintis usaha seperti imigran dari Eropa ini dan kalian sedang berada di lingkungan yang seperti orang-orang sekelilingku sekarang, selain mempersiapkan diri untuk kerja keras kalian juga harus mempersiapkan mental untuk menepis setiap omongan negatif orang. Karena itu bisa amat sangat menekan.
Kalian percaya pekerjaan kalian berharga dan akan mencapai titik yang sukses. Namun orang-orang sekitar kalian mencibir karena belum melihat uang yang kalian hasilkan.Â
Bila kalian tidak kuat mental untuk meneruskan rintisan usaha kalian, mungkin kalian akan meninggalkan usaha kalian dan beralih menjadi pengendara ojek daring. Aku pernah melihat beberapa orang yang seperti itu.
Apakah tukang ojek adalah pekerjaan yang tidak berharga? Bukan begitu juga. Menurutku, suatu pekerjaan akan menjadi berharga atau tidak tergantung dari bagaimana orang itu menjalaninya.
Kemarin, aku pulang dari rumah tanteku di Galaxy Bekasi dengan menumpang ojek daring. Pengemudinya, mengetahui dengan baik jalanan kota Bekasi.Â
Sebelum berangkat, dia memaparkan kemungkinan kondisi jalanan yang akan dilalui. Seharusnya memang seperti itu. Tapi aku banyak menemui tukang ojek yang tidak hafal jalanan dan mengandalkan peta digital. Padahal kan ya...
Di jalan, ketika aku bertanya tentang aplikasi ojek yang aku gunakan, dia bisa menjelaskan dengan lengkap kelebihan dan kekurangannya. Dia juga bisa bercerita detail tentang dompet digital yang digunakan oleh aplikasi ojek tempatnya bekerja lengkap dengan trik untuk mendapatkan promo.Â
Selain itu, dia juga tahu perbedaan aplikasi yang dia gunakan dan aplikasi sejenisnya. Kebanyakan pengemudi ojek daring yang aku temui, tidak peduli dengan itu semua. Mereka yang mereka mau tahu hanyalah bisa mengantarkan penumpang dan mendapatkan penghasilan dari situ.
Aku curiga, mungkin tukang ojek kemarin adalah mahasiswa atau peneliti yang sedang melakukan riset. Walaupun bisa saja sih, orang itu memang tukang ojek yang menyukai dan menaruh perhatian penuh dengan pekerjaannya. Bila ada kesempatan, aku yakin dia pasti bisa menaiki tangga yang lebih tinggi lagi.
Bila orang-orang 'pintar' mengkhawatirkan tentang pekerjaan low skill, sebaiknya mereka mulai untuk merumuskan suatu aksi yang bisa membuat orang, apapun profesinya, tidak sekadar bekerja.Â
Supaya orang-orang melakukan pekerjaannya dengan mengembangkan imajinasi dan pikirannya. Kata Gladwell, "kerja keras hanyalah vonis mati jika kerja itu tidak memberi makna."
Yang aku percaya lagi, rumusan aksi itu tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Penanaman sikap seperti itu harus dimulai dari pendidikan dasar. Harus dimulai dari mengubah stigma bahwa orang yang memiliki uang paling banyaklah yang harus diapresiasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H