"Nanti kalo gak lulus gak bisa nikah, yang ada makin banyak zinah. Makin banyak nikah di bawah tangan, ngurusin yang biasa ajah ribet apa lagi tambah embel-embel," tulis seorang teman, yang beragama Islam dan belum menikah, di dinding Facebooknya sambil membagikan berita tentang sertifikasi pernikahan.
Aku mengingat-ingat proses pendaftaran pernikahanku di KUA dua tahun yang lalu. Aku mengumpulkan dokumen yang dibutuhkan, ke puskesmas untuk pemeriksaan kesehatan jiwa dan raga, kemudian menyerahkan dokumen dan surat keterangan dari puskesmas ke KUA.
Seminggu sebelum pernikahan, aku datang lagi ke KUA untuk mengambil tagihan dan membayarkan tagihan tersebut di BRI. Setelah itu aku menyerahkan bukti pembayaran ke KUA dan menjelaskan lokasi rumahku pada petugasnya.
Yang agak membuat ribet adalah karena calon suamiku saat itu tinggal di luar Jogja. Namun teknologi mempermudah urusan kami. Dokumen yang dibutuhkan bisa dikirim lewat email. Hanya ketika kami melakukan konsultasi dengan psikolog saja dia harus meluangkan diri, waktu dan uangnya.
Tapi yah, siapa tahu di tempat teman Facebook ini tinggal, mengurus berkas-berkas pernikahan menjadi hal yang menyebalkan dan ribet karena birokratnya tidak kompeten. Yah, aku juga tidak tahu. Siapa tahu memang dia memiliki aturan yang berbeda dengan tempatku tinggal. Siapa tahu.
Yang jelas menurutku, yang beragama Islam, ini adalah perkara yang sederhana. Dibanding dengan teman-teman yang beragama Katolik, misalnya.
Kompasianer Dr. Nugroho telah menjelaskan proses persiapan pernikahan di gereja Katolik dalam artikelnya. Dari artikel tersebut, aku menangkap bahwa pernikahan di agama Katolik adalah hal yang memerlukan persiapan yang luar biasa.
Ketika aku membaca artikel di Terminal Mojok yang berjudul Yakin, Sertifikat Kelas Pranikah Betul-betul Jadi Syarat Buat Nikah?, aku membaca sebuah komentar yang berbunyi, "perkara baik ko dipersulit, ke depan lebih banyak lagi yang berzina kalo gitu." Beberapa detik kemudian, aku jadi jengkel sendiri.
Ketika aku hendak menikah, psikolog yang menjadi konsultanku mengatakan bahwa di Sleman, tempatku melangsungkan pernikahan, angka perceraian cukup tinggi.Â
Untuk mengantisipasi lebih banyak perceraian yang terjadi, calon penganten diminta untuk berkonsultasi dengan psikolog supaya memiliki bekal pengetahuan dan mental untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Jangan sampai, rumah tangga ini sampai di gerbang perceraian. Karena perceraian adalah hal yang tidak disukai oleh Tuhan. Â Aku bisa mengerti itu. Tapi kenapa sih, orang-orang ini selalu berfikirnya tentang zina?