Buat aku yang keseringan membaca kumpulan tulisan yang ditulis oleh orang Jawa, membaca buku Mata Kaki Kelilipan menjadi selingan yang menyenangkan.Buku yang ditulis oleh Saleh Abdullah ini menyisipkan dialek Betawi dan Papua. Berhubung aku sekarang tinggal di pinggiran Jakarta, aku jadi membayangkan orang-orang sekitarku yang sedang berbicara.
Buku keluaran EA Books ini terdiri dari 4 bab. Bab yang pertama bercerita tentang orang-orang yang memiliki sentuhan personal dengan penulis, salah satunya adalah Ustaz Harun. Dalam cerita berjudul 'Ustaz Harun Guru Ngaji Kami', Saleh bercerita tentang kekonyolan-kekonyolannya dan teman temannya masa kecil yang melibatkan Ustaz Harun. Saleh kecil tinggal di Kwitang, Jakarta. Cerita ini mengingatkanku pada cerita Haji Obet yang ditulis oleh Baim Lebon. Cerita khas anak-anak di Jakarta lengkap dengan percakapan bahasa Betawinya.
Nah, cerita tentang mata kaki kelilipan itu juga ada di bab ini. 'Mata Kaki Kelilipan' menceritakan Om Ridwan, pelatih sepakbola Saleh kecil. Kalau Saleh atau temannya ada yang tidak bisa mengegolkan bola ke gawang lawan, Om Ridwan akan berkata: "woy, mata kaki lu kelilipan?" Dan secara spontan Saleh kecil membersihkan kedua mata kakinya dari kotoran.
Sosok lainnya yang menarik adalah Jus Soema di Pradja. Dalam tulisan berjudul 'Jus Soema di Praja dan Sejarah Pers Indonesia yang Disembunyikan', Saleh bercerita tentang wartawan Kompas bernama Jus yang sangat idealis. Dia berhenti menjadi wartawan ketika dia melihat orientasi pers Indonesia sudah mengarah ke industri. Ketika pers takluk pada kekuasaan dan modal.
Sosok Jus Soema di Pradja ini pernah aku kenal lewat tulisan alm Rusdi Mathari dalam bukunya yang berjudul Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan. Dalam tulisan berjudul 'Jus', Rusdi menceritakan bahwa ketika berhenti dari Kompas, Jus pernah bekerja sebagai koordinator pemungut sampah. Seorang sosok yang memang pantas untuk dikagumi semua orang.
Apakah Saleh juga seorang wartawan seperti Alm. Rusdi Mathari dan Jus Soema di Pradja? Aku tidak tahu pasti. Dari profil Saleh di goodreads.com, Saleh adalah seorang aktivis. Di masa mudanya, beliau terlibat aktif di Sekertariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia dan ikut mendirikan Indonesia Front for the Defense of Human Right. Sekarang (entah kapan profil Saleh Abdullah diperbarui oleh goodreads.com), beliau adalah fasilitator Jaringan Baileo, Maluku, dan konfederasi INSIST. Selain itu, beliau juga merupakan anggota dewan direksi INSIST Press.
Bab 2 dari buku Mata Kaki Kelilipan berisi tulisan bertema politik. Saleh mengemukakan pendapatnya tentang beberapa peristiwa politik yang masih segar dalam ingatan kita dengan cara yang asyik. Yang paling berkesan adalah bagaimana Saleh mengumpamakan kapitalis, pemerintah, warga negara, kelas pekerja, dan masa depan negara. Apa, yah? Aku merasa tulisan ini di bab dua Mojok banget. Walaupun memang di bagian terima kasih dari buku ini, Saleh menuliskan bahwa beliau berterima kasih pada situs mojok.co karena merasa ketemu jodoh dengan gaya tulisan di Mojok.
Bab 3 berisi tulisan perjalanan Saleh ke Sulawesi, Maluku, dan Papua. Aku yang belum pernah datang ke tempat-tempat yang diceritakan oleh Saleh, menjadi merasa dekat dan dapat memahami kontemplasi perjalanan Saleh. Misalnya cerita tentang kepala kampung Purwahab Tonggoh (Fakfak Barat, Papua) bisa dipanggil Pak Mualaf oleh teman-temannya. Ya, dimana-mana memang ada, sih, manusia yang aneh dan lucu. Namun, Saleh bisa menceritakannya dengan menarik sehingga tokoh ini menjadi tidak terlupakan oleh pembaca.
Pada bab 4, sepertinya adalah kumpulan tulisan yang tidak bisa masuk ke bab 1, 2, dan 3. Aku tidak bisa menarik tema besar dari banyak tulisan itu. Sepertinya memang random saja. Saleh bercerita tentang orangtuanya, masa kecilnya yang suka bermain tebak-tebak buah manggis, hingga hubungan Real Madrid dan pemerintah Indonesia.
Walaupun beberapa tulisan temanya serius (ya ampun, emang ada yang lebih serius dibanding politik?) tapi aku tetap nyaman membacanya karena cara penulisannya yang sederhana dan mudah dipahami. Membaca buku ini seperti sedang membaca artikel ringan di media daring (kolom opininya Detik atau artikel-artikel di mojok.co). Tidak perlu mengerutkan dahi untuk membacanya tapi banyak hal yang bisa dipetik dari tulisan-tulisan di buku Mata Kaki Kelilipan.