Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah pertunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin
Di simpang jalan perumahan Kerang Mutiara, seseorang dengan tubuh terbungkus kain dari ujung rambut sampai ujung kaki berjalan cepat. Penampilannya mirip dengan ninja yang ada di film-film Jepang.Â
Dia menengok ke kanan dan ke kiri. Sepertinya dia takut ada yang memergoki. Secepatnya, dia bersembunyi di balik pohon yang besar.
Tak berapa lama, muncul orang lain yang menggunakan kostum tertutup seperti orang yang tadi. Berjalan mengendap, hati-hati, dan celingukan. Tanpa diduga, mendadak muncul orang yang tadi di hadapannya.
"Dokter Putra?" teriak orang itu tertahan. Ia merasa cemas. Kemudian ia celingukan memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua. "Mestinya kita tidak boleh bertemu langsung, Dok. Ini terlalu berbahaya."
"Karena ini berbahaya, makanya saya tidak menggunakan jasa kurir," kata dr. Putra. "Akan lebih berbahaya lagi kalau lebih banyak orang yang tahu."
Dr. Putra menyodorkan amplop tebal berwarna cokelat pada orang itu.
"Nih, apel washington," kata dr. Putra. "Bagaimana situasinya, Pak Panjaitan?"
Orang yang satu lagi itu ternyata adalah Pak Panjaitan, pengacara dan penasehat hukum Pak Walikota. Apa yang direncanakannya dengan dr. Putra?
"Berhati-hatilah," kata Pak Panjaitan mengambil amplop yang disodorkan. "Ada mata-mata yang disusupkan ke Pusat Rehabilitasi."
"Tenang saja. Aku selalu berhati-hati," ujar dr. Putra. "Bagaimana dengan Pak Walikota?"
"Aku berhasil meyakinkannya soal ancaman itu," jawab Pak Panjaitan. "Sekarang dia meminta Komandan Keamanan untuk mengatasi keadaan."
Dr. Putra menyisipkan tangannya ke kantong celananya. Dia celingukan selama beberapa saat sebelum memindah isi kantongnya ke tangan Pak Panjaitan. Pak Panjaitan terkejut menerima botol berisi pil yang diterimanya dari dr. Putra. Cepat-cepat ia masukkan botol tersebut ke kantong bajunya takut ada yang melihatnya.
Mereka berdua tidak sadar, bahwa selama pertemuan itu, walaupun mereka telah berhati-hati, ada orang yang memperhatikan mereka. Orang itu merekam setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh dr. Putra dan Pak Panjaitan.
"Pastikan pil itu diminum oleh Pak Walikota," kata dr. Putra.
"Siap, Dok," kata Pak Panjaitan.
"Berhati-hati lah," kata dr. Putra memberi peringatan.
Dr. Putra bersiap untuk beranjak pergi ketika lengannya dipegang oleh Pak Panjaitan.
"Apalagi?" tanya dr. Putra heran.
Pak Panjaitan cengengesan dan menengadahkan tangannya sambil berkata, "Tidak ada makan siang yang gratis, Dok..."
Dr. Putra menghembuskan nafasnya dengan agak kencang sambil mengumpat. Walau begitu, ia tetap memberikan sebuah amplop coklat yang tebal pada Pak Panjaitan.
"Kerakusan itu memang mahal ongkosnya," katanya lebih ke dirinya sendiri.
Pak Panjaitan mencium amplop itu lalu menyimpannya di sakunya. Setelah itu mereka berdua berpisah dan menghilang dalam gelap malam.
bersambung
Cerita ini pertama kali dipublikasi di pepnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H