Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warna Selain Hitam

22 Desember 2018   12:33 Diperbarui: 22 Desember 2018   12:35 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shutterstock/jacob lund

Aku meletakkan pantatku di kursi dan menjatuhkan badan serta kepalaku ke meja kerjaku. Kulirik jam meja yang ada di depan kepalaku. Pukul 2 siang dan aku bahkan belum sarapan. Karena gangguan perkeretaan, aku, yang seharusnya pukul 9 pagi sudah duduk di meja kerjaku, baru memasuki gedung kantor pukul 11 karena perjalanan KRL yang terhambat. Tepat saat atasanku menyampaikan kata terakhirnya dalam breafing pagi di ruanganku. Matanya yang sipit melirikku dengan tajam di balik kacamata bundarnya. Sepertinya, ini saat yang tepat untuk menulis surat wasiat untuk ibuku di kampung.

Sesuatu yang dingin menyentuh pipiku. Aku membuka mata dan melihat sekaleng minuman bersoda di depan mukaku. Di samping meja, ada seorang perempuan dewasa yang hampir berusia 50 tahun tersenyum. Aku memutar kepalaku sehingga mukaku membelakanginya.

"aku belum makan," kataku singkat.

Ibu itu meletakkan kotak mika transparan berisi burger di depan mukaku.

"Makanlah," kata Ibu itu sambil melangkahkan kaki ke mejanya yang terletak tepat dihadapanku. "Lalu minum minuman dingin ini. Aku rasa itu bisa membuatmu lebih segar dan siap melalui waktu kerjamu yang tinggal 3 jam lagi."

Aku meraih burger di dalam kotak mika itu dan segera memakannya.

"Terima kasih, Bu San," ucapku tulus. "Burgermu ini memberikan warna pada hariku yang kelam."

"Bersemangatlah! harimu harus tetap berlanjut meski kamu baru saja lolos dari terkaman serigala," kata Bu Santi tanpa menatapku. Dia kini sudah mulai sibuk dengan analisa angka-angka yang ada di layar komputernya. Tapi aku bisa melihat dengan jelas senyum yang tersungging di bibirnya.

"Andai Ibu merasakan hal yang aku alami sepanjang siang ini," ujarku. "Bukan salahku kalau aku terlambat. Gangguan rel kereta tidak terjadi setiap hari, kan? Dan berapa kali aku terlambat sepanjang tahun ini? Apakah Kadep harus berkata sekasar itu padaku? Nampaknya, seharusnya aku tidak perlu berangkat hari ini."

"Rumahmu dan rumah Hanny, mana yang lebih jauh?" tanya Bu Santi lagi.

"Eh?" seruku bingung. Mengapa Bu Santi bertanya seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun