Di ujung jalan rumahku, tinggallah seorang supir taksi dan istrinya yang bekerja sebagai penjaga kantin di sebuah kantor pemerintahan. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang tinggal di Tangerang bersama suami dan anaknya yang belum berusia 2 tahun.
Beberapa hari ini, aku sering melihat cucu dari supir taksi ini berlarian di jalan depan rumahku. Suatu hari, aku dan suamiku bertemu dengan istri Supir Taksi yang sedang sibuk mengejar cucunya. Aku menyapa istri Supir Taksi dan menggoda cucunya. Saat aku menanyakan mamanya, keluarlah cerita dari istri supir taksi.
Mama dari gadis kecil yang saat ini di rumah neneknya, merasa jenuh tinggal di rumah dan mengasuh anak. Dia ingin bekerja dan menitipkan gadis yang belum berusia 2 tahun itu pada orang tuanya. Supir taksi dan istrinya mengiyakan. Sebagai orang tua, dia akan melakukan apa saja untuk bisa mendukung anaknya.
Tapi bukankah supir taksi dan istrinya bekerja? Bagaimana mereka menjaga gadis kecil itu? Katanya, pagi sampai sore, gadis kecil akan ditunggu oleh supir taksi. Ketika istrinya yang bekerja di kantin sudah pulang, supir taksi baru berangkat kerja sampai pagi menjelang.
Aku dan suamiku terdiam sejenak. Dan saling pandang. Kami tidak melanjutkan pembicaraan tentang ini lagi. Topik beralih pada cerita-cerita seputar lingkungan rumah kami. Tentang air yang mulai pelan mengalirnya, hujan yang tidak kunjung datang, dan perayaan 17 Agustus yang lalu.
Namun sampai di rumah, aku kemudian berkata pada suamiku, "Anaknya si supir taksi itu pikirannya gimana, sih?"
Suamiku mengangkat bahunya.
"Itu sih, makanya aku agak risih juga lihat orang yang aku anggep masih bocah udah ngebet nikah," kata suamiku.
Aku mengangguk tanda setuju.
Anak supir taksi masih berusia 22 tahun. Dia tidak menyelesaikan kuliah sarjananya karena menikah dengan suaminya dan pindah dari Semarang ke Tangerang. Suaminya sendiri, bekerja di sebuah anak perusahaan Jepang.
Aku kemudian teringat seorang teman yang berprofesi sebagai psikolog. Dia meninggalkan karirnya demi mengurus anak-anaknya yang masih kecil. Memang sih, temanku itu menikah di usia lebih dari 30 tahun. Jadi menurutku, dia memang sudah 'kenyang' mengejar karir. Sudah bosan mendapat tekanan di tempat kerja dan mengalihkan ilmu dan energinya untuk mengasuh kedua anaknya.