"Mulai besok, kamu ikut suamimu," kata ayahku saat aku sedang makan sendirian.
Siang tadi, digelar upacara Panggih dan resepsi pernikahanku. Ini adalah hari terakhir rentetan acara pernikahanku. Suamiku yang kelelahan setelah mengikuti banyaknya prosesi dan menemui banyak tamu sudah terlelap. Akupun sebenarnya ingin tidur tapi perutku yang keroncongan tidak bisa diajak terlelap.
"Bapak mikirin kamu," katanya lagi sambil duduk di hadapanku dan menyilangkan jari-jarinya di meja. "Buat Bapak ini gak ada bedanya dari saat kamu pergi buat kerja 4 tahun lalu. Tapi sekarang Bapak takut kamu yang biasanya sendirian kaget harus tinggal sama orang lain."
"Bapak yakin sama Malik," kata Bapak. "Tanpa Bapak minta dia menjanjikan tempat tinggal yang terpisah dengan orang tuanya. Akan lebih mudah buat kamu beradaptasi bila kamu gak serumah dengan mertuamu."
Aku ingat saat prosesi lamaran beberapa bulan lalu. Ayahku berkata pada semua yang datang, "Niken adalah putri saya satu-satunya. Dia yang saya besar kan dengan segala yang saya miliki. Bahkan ketika saya tidak punya apa-apa, saya selalu berusaha untuk dia. Anaknya agak manja tapi sungguh dia anak yang baik. Semoga Mas Malik bisa menjaga Niken lebih baik daripada saya."
Aku meninggalkan makananku dan berlutut di hadapan ayahku. Aku membenamkan mukaku di pangkuan ayahku. Ayahku mengelus rambutku.
"Mulai besok, kamu bakal sama-sama sama suamimu. Jangan egois. Hidup yang rukun. Bantu suamimu sebisanya. Jangan pernah pulang ke rumah ini tanpa izin suamimu, ya Nak. Sebab rumahmu sekarang di Magelang. Bukan di sini lagi," kata ayahku.
Aku semakin terisak di pangkuan ayahku. Dan ayahku semakin mendekap erat kepalaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H