Minggu pagi, aku ke rumah ibu mertuaku untuk mengantarkan kue kaleng. Saat itu, ibu mertuaku membuka dapur umum di belakang rumah. Beliau bersama adik dan kakaknya sedang sibuk membuat kue akar kelapa dan menggoreng rengginang. Kue akar kelapa dan rengginang tersebut akan dibagikan pada saudara dan kerabat mereka.
Aku kurang begitu paham dengan istilah tradisinya. Namun sepemahamanku, ini mungkin seperti yang sering dilakukan ibuku yang tinggal di Jogja. Menjelang hari-hari terakhir bulan Ramadan, ibuku akan membeli kue kaleng dan sirup dalam jumlah yang banyak untuk dibagi-bagikan. Nah, ibu mertuaku, membuat sendiri kue yang akan dibagikan. Tidak membeli kue kalengan seperti ibuku dan aku.
Ibu mertuaku bercerita, kue yang dibuatnya akan dibagikan mulai hari Rabu (2 hari menjelang lebaran) hingga hari lebaran tiba. Kue itu sudah dipak dan ditandai. Ini untuk siapa dan ini untuk siapa. Rencananya, beliau akan membuat kue sampai hari Rabu. Hari Kamis, beliau akan masak daging untuk kami makan di hari raya.
Siang tadi, ketika aku mengangkat jemuran, aku mendapati tetangga sebalah kananku sedang mengupas pepaya muda di teras rumahnya.
"Wah, masak, nih," sapaku.
"Iya, Mbak," jawab tetanggaku. "Ini nyicil motong-motong bahan sama bikin bumbu. Jadi besok saya tinggal mengolahnya. Mbak Meta gak masak?"
"Saya aja gak di rumah, Mbak," jawabku.
"Mbak Meta ke rumah ibu yang di Babelan yah?" tanyanya.
Tetangga sebelah kananku ini, ibunya tinggal di desa yang sama dengan mertuaku. Betapa sempitnya dunia, kan?
"Iya, Mbak," jawabku. "Kata suami saya, ibu pasti sudah masak macam-macam hidangan. Jadi saya gak usah masak."
"Ini saya juga buat di sini, Mbak," ujar tetanggaku. "Suami saya kan lebaran gak libur. Dia masuk malam. Jadi saya ke Babelan paling dari habis lohor sampai sore. Habis itu pulang ke sini lagi. Gak ngerasain lebaran nanti kalau saya gak masak."