“Ini, antibiotikanya diminumnya 3 kali sehari yah…” kataku pada seorang pasien anak. “Jadi diminumnya jam 5 pagi, jam 1 siang, dan jam 9 malam.”
“Tapi dia puasa, Neng.” Kata ibunya. “Antibiotikanya diminum 2 kali aja yah?”
“Gak bisa ibu, antibiotika itu bukan obat penurun panas…” kataku. “Antibiotika harus diminum teratur di jamnya…”
Panjang lebar lalu aku menjelaskan cara kerja si antibitika dan akibat bila tidak meminumnya secara teratur.
“Ih, si Eneng mah bikin serem aja. Ya jangan sampe kejadian atuh Neng.” Kata si ibu.
“Makanya obatnya diminum teratur, Ibu. Kan anaknya juga masih kecil. Belum wajib puasa.” Kataku nyeplos.
“Ya kan anak-anak juga harus latihan puasa.” Kata si Ibu membela diri.
“Kan anaknya lagi sakit, Bu.” Kataku. “Dia harus makan cukup juga supaya pemulihannya cepat.”
Ibu itu lalu mengiyakan kata-kataku dan segera pergi dari situ. Aku menghembuskan nafas dengan cepat dan tiba-tiba dokter mengatakan sesuatu dari belakang.
“Kamu teh puasa banyak-banyak istigfar, Ceu,” Katanya. “Jangan ngomel-ngomel mulu. Cepet laper ntar.”
“Atuh Dok…” kataku mau membela diri. “Ah, kayak yang Dokter bisa puasa ngomel juga.”
“Emang. Aku tadi udah bilang sama ibunya sih. Obatnya cuma buat 3 hari jadi anaknya jangan puasa dulu,” Kata si dokter. “Tapi kamu lihat dong, mukanya ibu itu. Itu muka orang yang gak akan ngikutin omongan kita jadi aku ya cuma ngomong sekedarnya aja. Gak buka kuliah pagi kayak kamu. Lagian kan kamu udah lama kerja bareng saya. Masak iya sih kalo dia cuma batuk pilek demam biasa saya kasih antibiotika?”
“Kalau orang dewasa sih, saya kasih Ciprofloksasin yang diminumnya cuma 2 kali sehari. Apa yang anak-anak mau dikasih Cipro juga?” tanya si dokter sambil tersenyum jahil.
“Tong atuh ah.” Samberku. “Ciprofloksasin tidak diperuntukkan anak usia kurang dari 12 tahun.”
***
Pagi ini, aku membaca artikel yang ditulis oleh Ehab Mudher Mikhael, seorang apoteker dari Iraq, yang berjudul "Antibiotic-prescribing Patterns for Iraq Patients During Ramadan". Dalam pendahuluannya Ehab menjelaskan tentang orang-orang Iraq yang walaupun sakit tetap bersikeras meneruskan berpuasa. Ah sama dengan orang-orang sini kalo begitu.
Ehab juga menjelaskan tentang peningkatan angka kejadian infeksi selama bulan Ramadan. Masalahnya kemudian adalah penggunaan obat-obat antibiotika pada pasien infeksi yang masih ngotot ingin berpuasa. Pasien yang mendapat antibiotika tetapi mereka berpuasa memicu penggunaan antibiotika yang tidak tepat sehingga bisa meningkatkan kejadian resistensi antibiotika.
Pada penelitian yang dilakukannya, Ehab mendapat kesimpulan bahwa infeksi pada mulut adalah angka kejadian infeksi yang tertinggi di Iraq, tetapi angka kejadian penggunaan antibiotika dengan regimen yang salah rendah karena pasien tidak berpuasa. Infeksi gigi menimbulkan nyeri yang berat sehingga pasien butuh minum analgesik dan mereka jarang berpuasa sampai benar-benar sembuh.
Dokter di Iraq sendiri juga memastikan pasien yang akan diresepi antibiotika berpuasa atau tidak sehingga mereka bisa memilihkan antibiotika yang hanya diminum sekali sehari. Walaupun ada juga dokter yang tidak sempat menanyakan pasiennya apakah berpuasa atau tidak. Ada dokter yang meresepkan penggunaan antibiotika dengan frekuensi 2 kali sehari bahkan ada juga yang meresepkan antibiotika dengan frekuensi 3 kali sehari.
Menurut Ehab, di Iraq yang durasi puasanya 16 jam penggunaan antibiotika dengan frekuensi 2 kali sehari masih tidak tepat karena antibiotika dengan frekuensi 2 kali sehari seharusnya diminum tiap 12 jam. Bukan berjarak 16 jam antar minumnya.
***
Dulu, saat masih bekerja di rumah sakit, beberapa dokter menggunakan antibiotika dengan frekuensi penggunaan 1 kali sehari atau 2 kali sehari pada pasien yang berencana berpuasa. Kini, di klinik provider JKN dengan segala pembatasan pilihan obatnya, memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Antibiotika terutama untuk anak tersedianya yang dengan frekuensi 3 kali sehari.
Kebanyakan jurnal ilmiah menyarankan pemilihan antibiotika dengan frekuensi penggunaan 1 atau 2 kali sehari. Beberapa apoteker senior menyarankan penggandaan dosis saat sahur untuk meng-cover seharian puasa. Tetapi itu jelas beresiko karena bisa menimbulkan keracunan.
Aku hanya akan berdoa semoga orang-orang selalu sehat dan tidak perlu minum antibiotika selama puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H