Saat aku menjalani kuliah profesi, kawanku yang sudah dilantik menjadi dokter berkata, “Dunia pengobatan itu gak seindah masa kuliah. Banyak banget hal yang bisa terjadi. Pesenku sih, kamu ngerti aja spectrum kerja kamu di bawah undang-undang yang berlaku. Kamu tau aja apa yang jadi wewenang kamu dimana.”
“Iya Dok…” kataku. Saat itu memang aku hanya meledeknya saja.
Dia ini kenapa sih? Gue belajar undang-undang juga kali.
Namun aku kemudian iseng bertanya pada dokter baru jadi itu, “Eh, Kak menurutmu kalau apoteker boleh gak sih nulis resep?”
“Kamu ni, kan kakak udah bilang, urus spectrum kerjamu di bawah undang-undang yang berlaku. Kalo kamu di Inggris atau yang deket di Filipina. Boleh aja kamu nulis resep karena apoteker bisa jadi independent prescriber. Kalo disini gak bisa donk.”
“Iyeee…” tanggapku dalam satu kata.
***
Beberapa tahun setelah percakapan itu, di suatu siang, setelah semua pasien selesai diperiksa, dokter datang ke ruang farmasi dan mengacak-acak status pasien yang sedang aku catat penggunaan obatnya. Dia lalu menemukan satu status dan membacanya lagi.
“Ini, pasien yang ini… dia udah seminggu sakitnya.” Kata dokter umum sambil menunjukkan status pasiennya padaku.
“Baru kesini sekarang trus sama dokter diomelin?” Aku menebak apa yang terjadi tadi.
“Udah pasti saya omelin. Kamu tau gak itu dia sebelum kesini kemana?” tanya dokter.