“Ke bidan atau ke mantri?” tanyaku baliknya.
“Ke bidan. Tau gak kamu sama bidan dikasih apa aja?” tanya dokternya.
“Apa dok?” tanyaku lagi.
“Cefadroxil, lapifed, sama grafadon. Cefadroxilnya donk, frekuensinya 3 kali sehari.” Kata dokternya. Secara literature, cefadroxil adalah antibiotika yang diminum dengan frekuensi 2 kali sehari dengan selang waktu 12 jam.
“Hah? Brani gitu yah bidannya?” komentarku.
“Makanya saya nyengnyong sama pasiennya.” Kata dokter dengan suara tertahan tapi jelas dia ingin meninggikan suaranya. “Orang dia ni kesini aja gak bayar lho, kenapa ke bidan coba? Saya bilang aja tadi, ibu sayang gak sama anaknya?”
“Pasiennya gak salah juga kali dok.” Kataku. “mungkin dia mau imunisasi, trus ternyata demam. Sekalian deh.”
“Lagian bidannya juga, punya wewenang apa dia soal diagnosa anak? Apa hak dia buat ngasih pengobatan? Ya bisa sih, kalau jarak sama dokternya jauh. Kalau didaerah terpencil yang kalo mau ke dokternya juga harus pake sampan. La ini…. Haduh.” Gerutu si dokter sambil berbisik takut gak enak bila bidan di klinik kami ikut mendengarkan kata-katanya.
***
Sebelum ini, pernah ada heboh di facebook tentang seorang dokter yang upload cerita. Katanya dia melihat di apotek seseorang apoteker menyarankan pasien minum antibiotika. Dia mempertanyakan mengapa apoteker bisa menyarankan pasien minum antibiotika padahal antibiotika harus dikeluarkan dengan resep dokter.