Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kisah Tulisan Tangan Dokter

31 Januari 2016   17:21 Diperbarui: 31 Januari 2016   17:26 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Waktu aku masih bekerja di rumah sakit, apoteker yang bertugas wajib memakai jas profesi yang berwarna kuning pudar dan bentuknya hampir sama dengan jas dokter. Karena menggunakan jas seperti itu, beberapa pasien memanggil apoteker dengan “Dok…”. Mereka seolah tidak mau tau kalau jas apoteker berbeda dengan milik dokter.

Kalau dengan pasien, aku selalu dengan wajah manis menyangkal kalau aku dokter dan memperkenalkan diri sebagai apoteker. Tetapi yang suka memanggilku dengan sebutan ‘dok’ bukan hanya pasien. Beberapa orang asisten apoteker, dokter, perawat, dan ahli gizi kadang ikut-ikut memanggil seperti itu. Dan akan terdengar jelas kalau mereka bukan karena tidak tau tetapi mau meledek.

“Jangan panggil gue dokter. Gue bukan dokter plis, tulisan gue bagus.” Begitu aku selalu menyanggah kalau ada tenaga kesehatan yang memanggilku ‘dok’.

Dan kalau ada dokter yang mendengar kata-kataku ini, mereka kemudian akan bertanya, “Maksud kamu tulisan saya jelek?”

Kalau dokternya aku kenal baik, aku akan bilang, “Menurutmu? Saya aja sampe sakit mata karena tiap hari baca tulisan dokter.” Tapi kalau dokternya hanya sekedar kenal, aku hanya akan meringis.

Aku sebetulnya juga penasaran, mengapa dokter kebanyakan tulisannya jelek. Bahkan ada, yang dokter saat masuk rumah sakit tulisannya bagus, begitu agak lama di rumah sakit tulisannya jadi jelek dan tidak terbaca.

Ada seorang dokter yang aku tanyai, mengapa tulisan mereka jadi jelek, dia menjawab, “Ya maklum dong Ta, kita kan nulis sambil mikir, sambil ngobrol, sambil ngapain lagi. Jadi tulisannya sekenanya. Makanya yang di farmasi juga harusnya orang yang paham. Karena kan kalau banyak sambilannya gitu, nulis juga bisa jadi salah.”

Selama 1,5 tahun aku di rumah sakit, aku jadi terbiasa membaca tulisan dokter disitu bahkan yang paling jelek sekalipun. Lebainya, walaupun dia menulis hanya garis diberi titik, aku tau apa maksudnya. Aku malah bertanya tanya sendiri, dokter-dokter ni kalau pada surat-suratan, mereka ngerti gak sih tulisan satu sama lain?

Pertanyaanku terjawab ketika aku di klinik. Kejadiannya seperti ini, suatu pagi ada seorang pasien datang ke farmasi dengan membawa statusnya yang sudah ditulis oleh dokter.

“Keluhan masih, terapi lanjut” demikian yang tertulis di status pasien.

“Apaan sih?” gumamku sendiri. Aku lalu membaca status sebelumnya, ternyata 4 hari sebelumnya, pasien datang ke klinik tetapi bertemu dengan dokter yang berbeda. Anamnesanya gatal di badan dan diagnose dokter pasien terinfeksi jamur. Pasien mendapat ketoconazole tablet dan salep sebagai obat jamur dan loratadin untuk gatalnya. Terapi yang mana yang lanjut? Emang dia dapet obat berapa hari coba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun