Mohon tunggu...
Meisya Zahida
Meisya Zahida Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan penunggu hujan

Sejatinya hidup adalah perjuangan yang tak sudah-sudah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku yang Lain

24 Februari 2020   09:27 Diperbarui: 24 Februari 2020   09:23 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi yang sumringah, rimbun pohon bakau berjejer rapi di tepian pantai Talang Siring, tempat wisata yang mulai banyak disinggahi Pelancong, karena suasananya yang memikat benar-benar menghadirkan pemandangan menakjubkan. Air laut pagi ini terlihat surut, kata sebagian orang di tanggal-tanggal muda memang begitu, sampai nanti tanggal sebelas hingga dua puluhan air laut akan pasang. Siklus perubahan itu silang menyilang antara pagi dan malam. Jika pagi ini, surut. Kemungkinan akan pasang pada malam harinya.

Aku perhatikan, beberapa orang duduk bergerombol di beberapa teras, tepat menghadap laut. Mungkin mereka sedang berlibur, mungkin juga ada yang kesepian, semisal aku yang menunggu seseorang dengan rasa gelisah luar biasa. Maklumlah, setelah sekian bulan aku dan Aditya berbagi cerita lewat HandPhon, dia akan menyambangi aku dengan janji-janji sesuai yang kami sematkan. 

"Dik, ajari aku tentang agama, ya. Aku percaya kamu perempuan pilihan yang ditunggukan Allah buatku," kata Adit di ujung telepon. Aku hanya diam sebagai ungkapan rasa bangga akan semua ketulusannya. Katanya, dia tak ingin lagi pacaran, karena cinta yang sesungguhnya adalah kebersamaan yang diikat dengan tali pernikahan. Begitulah kami, melewati waktu dengan saling berkabar, saling menyemangati dan mengisi hari dengan ikhtiyar dan janji. 

"Dik, lama menunggu?" Seseorang menepuk bahuku, aku menoleh dan mendapati sosok yang berdiri gagah di depanku, Aditya. 

"Kak, Aditya?" kejutku, sembari mengajaknya bersalaman. Kami duduk bersisian tanpa saling bicara, laut yang begitu luas dengan aneka pasir dan barisan bakau seperti menyimpan kata-kata kami, jauh ke dalam batin. Aneh, aku tak melihat antusias ucapannya seperti di telepon, ungkapan janji-janji manisnya, juga kesan kebersamaan saat kami berbagi cerita. Aku pun mengikuti diamnya, sesekali mengajaknya bicara dan mencoba mencairkan suasana dengan menawarkan minuman. Dia menolak dan kembali dalam kebisuan yang sama, hingga kami terpisah tanpa kesan berarti. 

****

"Berhentilah memburu sesuatu yang tak terlihat, Rasty. Kau harus mampu merelakan yang tak layak kau perjuangkan, biarkan dia menjauh. Sebelum hati dan tubuhmu lebih tersakiti," suaranya kembali terngiang. Aku melihat cermin di depanku dengan utuh, cermin yang meyembunyikan sisi yang lain dalam diriku, yang bisa melihat hal yang ganjil, mengungkap kejujuran dari ketidakberdayaan yang hilang. 

Madura, 24 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun