Mohon tunggu...
Meisya Awaliahmunazila
Meisya Awaliahmunazila Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang mengenyam pendidikan pada ilmu eksakta. Akan tetapi tak bisa dipungkiri kegemaran saya terhadap bacaan membuat saya haus akan ilmu pengetahuan, tak ayal saya juga suka pada ilmu lain, misalnya sosial humaniora. Saya tak begitu paham filsafat, hukum, politik tapi saya suka mempelajarinya. Entahlah, terkadang itu lebih menyenangkan ketimbang menghafal anatomi tubuh manusia. Saya suka berpikir dan berdiskusi, apa yang saya pikirkan saya tuangkan ke dalam tulisan kecil maupun besar, salah satu nya disini. Siapa tahu tulisan-tulisan ini kedepannya berguna bagi bangsa dan negara.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Mati" Sebelum "Hidup"

20 November 2023   22:30 Diperbarui: 20 November 2023   22:33 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pilar atau pondasi yang kerap kali menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Pendidikan salah satunya. Berbagai kebijakan yang "mati" sebelum "hidup". Sistem yang entah dari mana tidak mengembangkan pola berfikir masyarakat malah mempersempitnya tanpa syarat. Kurikulum yang tak perlu, pendidikan karakter yang semu, sumpah dan janji palsu, pengabdian yang terkikir habis membuang waktu daripada memupuk pengalaman penyambung hidup. Pembelajaran yang katanya merdeka tapi urusan karir nya tak selaras untuk merdeka. Alhasil, tingkat kemiskinan struktural masih terjadi, ekonomi yang meningkat hanya sebatas retorika dan keseimbangan perdamaian antara kaum "borjuis" dan "proletar". Seperangkat pondasi antikritik melahirkan turunan terhadap kebijakan lain yang tak terlihat nilai gunanya.

Batas pemikiran dipicu perkembangan polemik atas superioritas ahli eksakta atau sosial humaniora. Keduanya tertumpang tindih, merasa paling superior, padahal jelas fungsinya---saling berhubungan. Tan Malaka dalam bukunya  "Madilog" yang mengatakan bahwa "...sistem ilmu pasti boleh diperiksa dan dikritisasi karena bersifat tahan uji, jika tak bisa diperiksa dan dikritasisasi, maka matilah ilmu pasti itu". Jelas maknanya, pengujian eksakta tidak hanya menggunakan numerik yang absolut tapi butuh pendekatan lain seperti bahasa dan turunannya. Tak ada yang lebih superior, keduanya memiliki batasan ilmu yang berujung saling membutuhkan. Pantas Indonesia juga tak kunjung maju, intelektual manusianya saja masih memperdebatkan hal yang tidak perlu. 

Pemikiran adalah kosa kata wajib yang menjadi dasar turunan lahirnya tindakan setiap insan. Namun, tak jelas hingga saat ini apa yang menjadi dasar kaum "terpelajar" juga tak kunjung haus akan ilmu pengetahuan. Lebih suka meninggikan gaya hidup ketimbang pola pikirnya, lebih bangga dengan gelarnya daripada fungsional gelarnya, lebih mati-matian mengejar jabatannya daripada memikirkan kebermanfaatan untuk sekitarnya. Entah mereka tahu atau tidak bahwa dalam hitungan bulan Indonesia akan memilih pemimpin selanjutnya. Pemimpin yang mengepalai gagasan sistem dan kebijakan sebagai wadah mereka dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Semoga kita masih ingat sudah berapa lama Indonesia berdiri di atas kemerdekaan yang semu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun