Mohon tunggu...
Meisha Athaya
Meisha Athaya Mohon Tunggu... -

Remaja 14 tahun, menarik dan senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta (Tak Boleh Dipaksa) #2

13 Mei 2011   08:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:46 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bella menepuk bahuku, menyadarkan aku dari nostalgiaku yang menurutku agak konyol, aku tersenyum tipis dan mengedipkan mataku padanya. Dia mengerti. Bella selalu mengerti apa yang aku pikirkan. Dia tau sekarang aku sedang tidak ingin bercerita.

'Tengteng teretengteng'

Bel pulang, harusnya aku bisa pulang ke rumah, mengurung diri di kamar, mendengarkan musik POP dengan volume palingtinggi dan membuat kasurku jebol karena meloncat-loncat di atasnya. Aku tidak peduli. Aku rasa mengabaikan dunia adalah salah satu cara menghilangkan kata 'galau dan mata sembab karena menangis'. Tapi hari ini bel pulang sama dengan pelajaran tambahan.

Aku berjalan lunglai melewati gerbang sekolah- menuju tempat bimbelku. Kali ini aku berjalan bersama Gina. Gina memasang muka bingung dan ingin tau. Tapi aku mengabaikannya.Les belum dimulai, seperti biasanya bu felia- asisten pak Jono yang mengajar di tempat bimbel, selalu datang SUPER ngaret. Aku melempar tas ku yang segede karung beras ke tempat dudukku. Kriuuk,kriiuk, wah perut ku ga bisa di ajak kompromi

“ Gin gue laper hehe “ Aku nyengir selebar mungkin menampil kan sederet gigiku yang sangat rapi.

Gina tersenyum girang melihat daftar menu yang super lecek itu.

“Soto baaaaaaaaaaaang “ Gina berteriak nyaring 2 oktaf di atas suara normalnya .

Aku mengelus dada. Duh gue kira alarm maling , gumamku.

“Ayam goreng deh bang” kataku dengan mata setengah melek.

Saat makan kaya gini aja , otak aku masih memikirkan yang namanya Donny.

“Heeey”

Tampak pantulan bayangan seorang perempuan yangsebaya denganku di kuah soto milik Gina. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Dea telah berdiri dibelakangku, tapi... siapa tuh?

Seorang cowo berkulit putih tampak cuek berdiri memainkan handphonenya di sebelah Dea, mataku menyipit mencoba menerka-nerka siapa manusia itu.

“Gabung yaa, kita ikut makan disini, oke”

Tanpa ba-bi-bu lagi Dea menyeret kursi ke arah meja kami begitu juga dengan cowok itu.

Cowok itu berhenti memainkan handphonenya. Dia tertegun, wajah nya tenggelam di balik daftar menu, mataku tidak bisa lepas dari cowok aneh itu. Dea yang super cerewet di padukan dengan gina yang suaranya kaya alarm maling, bikin sakit gendang telinga.

“Iya uahahaha bener banget noh, iya uwakakaka...”

Dea dan Gina benar-benar heboh, entah apa yang mereka bicarakan, cowok itu benar-benar tidak peduli, padahal aku saja udah mau pingsan dengerin 2 orang itu bergosip ria.

Cowok itu sudah selesai memesan, aku membuka mulutku sedikit dan siap melontar kan beberapa pertanyaan tapi...

“Gue Rio, salam kenal”

Dia tiba tiba menjabat tanganku dan aku hanya bisa mangap selebar mungkin. Rio menaikkan sebelah alisnya tampak heran. Aku menutup mulutku dan baru saja aku mau memperkenalkan diri, dia memotong

“ Lo chacha kan ?”

Aku mengerenyitkan dahi. Ini orang anaknya Mama Lauren gitu ya? Aku mengagguk dengan agak gugup. Ternyata Rio adalah teman masa kecil Dea yang tinggal tak jauh dari tempat bimbelku. Selesai makan kami berpisah. Pertemuan tak di sengaja dan tak terduga dengan Rio.

****

Aku meloncat ke kasurku yang empuk, lalu menyalakan radio

“Jatuh bangun aku mengejarmu..”

Lagu lawas dangdut itu memecah keheningan. Apaan sih ini, liriknya nyindir banget, gumamku sambil setengah menguap. Aku mengganti saluran radio, lagu-lagu barat mengalun. Aku menghempaskan tubuh ku ke tempat tidur dan menutupi wajahku dengan bantal. Memori tentang Rio terhapus sudah.

Kini yang aku rasakan, Donny.Hanya ada Donny. Ku benamkan wajahku lebih dalam mencoba menyembunyikan isak tangisku. Hingga akhirnya aku terlelap. Terlalu lelah, lelah atas penantian yang begitu panjang.

Beberapa jam kemudian aku terbangun, mataku masih setengah terbuka. Aku melihat pantulan dari cermin . Mataku sembab, bibirku kering, wajah berminyak dipadukan dengan rambut yang kusut. Rasanya seperti baru keluar dari kurungan penjara bawah tanah selama bertahun-tahun, hiperbola.

Tik tok tik tok jam dinding berdetik , aku menoleh

“Whaat, masih jam 2 pagi?” rasanya aku sudah tidur berabad-abad lamanya.

Tak berapa lama kemudian, aku tampak duduk di balkon kamarku, menatap lurus ke depan. Menatap langit yang gelap, tanpa bintang. Hitam dan terselubung jelaga. Ingatan tentang Donny kembali menguncang. Lalu beralih menjadi ingatan ku tentang Rio, ya Rio. Aneh.

***

Aku tak menyadari, sejak malam itu. Kini aku dan Rio jadi sering betemu. Dia tidak seaneh yang aku kira. Sekarang aku dan Rio adalah sahabat, sama seperti aku dan Bella. Rio adalah sahabatku, kakakku, orangtuaku, guruku, segalanya. Rio segalnya.

Rio ikut tersenyum saat aku bahagia, yang tertawa renyah saat menjaili aku, yang mengelus pipiku saat aku pura-pura marah, dan yang mendekap aku saat aku menangis pilu- menagisi Donny. Lagi-lagi Donny, dia yang segalanya, membuat hatiku penat, memenuhi hatiku hingga sesak. Begitu penat , hingga aku menangis

********

Aku mengotak-atik akun Yahoo Messengerku. Tanpa sengaja tanganku tergerak untuk mengirim pesan singkat berupa chat untuk Donny. Aku menekan tombol enter lalu terdiam untuk beberapa saat.

Satu.. duaa... tiga...

“HAH AKU NGIRIM APA TADI KE DONNY???”

Tadi itu benar-benar refleks. Aku merasa sangat tolol, aku tak mengenal Donny. Aku menatap layar handphoneku.

Cha_cha : heey.

‘tuuut’ aku terlonjak kaget, Donny membalas pesan singkatku ???

Donny.ramdhan : hey, kamu siapa ya?

Aku tertegun, mataku melotot, sedikit air bening menyempil di ujung bulu mataku. Aku menganga selebar mungkin, aku takut ini cuma mimpi. Tanpa pikir panjang aku membalas pesan singkat itu hingga akhirnya kami berkenalan.

Setelah kejadian itu, Bella adalah orang pertama yang mengetahui ini, dan selanjutnya Rio.Tapi aku tidak sebahagia yang aku kira. Donny, Donny, bayang yang hampir pudar dari hatiku tanpa aku sadari.

Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa, di sebelah Rio. Rio sama sekali tidak berkutik saat mendengar ceritaku. Dia tidak tersenyum, aku menatapnya heran, penuh tanda tanya.

“Rio! Kenapa sih? Lo sakit?” kataku sedikit mengguncang tubuhnya.

Dia terdiam, dan tiba-tiba dia memelukku, erat hingga dadaku terasa sesak.

“Ri, Rio lo kenapa?”

Dia tidak menjawab , hanya mempererat pelukannya. Lama sekali dia memelukku, lalu berbisik di telingaku...

“Jangan pergi” ucap Rio

Setetes air bening mengalir hangat di pipiku. Apa Rio menyukaiku? Tapi kami sahabat, dan Donny...

Aku benar-benar tidak menyadari, semenjak aku kenal denganRio, rasanya bayang Donny hampir memudar. Padahal ini sudah tahun ke dua aku begitu menyayanginya. Aku takut, begitu takut bayang Rio mengahapus bayang Donny yang memenuhi hatiku.

*Bersambung...

(Gambar dari : Google)

===================

Tulisan yang lainnya di :

http://www.kompasiana.com/meishaathaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun