Mohon tunggu...
Meisha Disa
Meisha Disa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar Sekolah

Haloo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Kesenian Tari Tradisional: Ebeg Banyumasan

8 September 2024   12:19 Diperbarui: 8 September 2024   19:28 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

  Ebeg merupakan istilah kesenian kuda lumping atau jaran kepang untuk wilayah Banyumasan. Tari ini berasal dari wilayah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Kebumen, dan Banjarnegara. Ebeg ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda pada tahun 2021 lalu. Kesenian ebeg adalah sebuah tarian yang menceritakan kehidupan masyarakat tradisioal dan terkadang berupa pantun maupun wejangan.

  Properti utama yang digunakan adalah kuda kepang, yang dibuat menggunakan anyaman bambu, serta dicat dan dihias dengan kain beraneka warna. Sementara bagian kepala dan ekor biasanya menggunakan ijuk atau tali rafia. Kostum yang digunakan pemain Ebeg berwarna-warni  yang memiliki makna dan simbolis yang terkait dengan filosofi dan nilai-nilai budaya Jawa.

  Penari ebeg biasanya berjumlah 5 orang atau lebih. Penari tersebut terbagi menjadi penunggang kuda lumping, cepet yaitu pemain yang menggunakan topeng penthul dan tembem, dan barongan yaitu pemain yang menggunakan topeng bergambarkan macan.

  Dalam pertunjukannya, ebeg menggunakan musik berbahasa Jawa Banyumasan atau bahasa Ngapak. Lagu yang sering dinyanyikan saat pertunjukan Ebeg Banyumasan adalah Eling-Eling. 

  Ebeg menceritakan tentang prajurit yang sedang menunggang kuda dan akan berperang. Gerakan-gerakan pada tarian ini menunjukkan kegagahan dan keberanian.

  Ketika pertunjukan ebeg berlangsung, harus tersedia sesajen atau menyan untuk persembahan. Nantinya, efek dari sesajen ini adalah pemainnya akan mengalami kerasukan atau mendem. Di saat inilah, para pemain akan melakukan hal tidak lazim seperti memakan pecahan kaca, bunga-bunga sesaji, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, meminta untuk dipecut bagian tubuhnya dan lain-lain. Selain para pemain, para penonton juga bisa mengalami kerasukan atau mendem. Pada akhir aksinya, para pemain dan penonton yang mengalami kerasukan atau mendem akan disembuhkan oleh Penimbun atau jika di Purbalingga dikenal sebagai dukun Ebeg.

  Ebeg juga memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam tariannya, diantaranya:

  • Menggambarkan pentingnya menjaga kebersamaan dan keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Melambangkan keterampilan dan keahlian yang harus dijaga dan diasa agar tetap menjadi bagian dari budaya lokal.
  • Mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan dengan tidak memperlihatkan kesombongan, melain tetap bersikap rendah hati.
  • Ebeg juga melambangkan keberagaman budaya, dalam pentasnya terdapat berbagai macam karakter yang mewakili suku dan budaya yang ada di Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun