Beberapa negara yang sedang membangun dan menata diri setelah masa kolonial, salah satunya adalah Indonesia, memilih sistem politik demokrasi untuk menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan tujuan negara. Bahkan ketika sudah mendapatkan gelar negara demokrasi, dan mengubur sistem politik tradisional, faktor kekeluargaan atau kekerabatan masih lekat dalam mempengaruhi kehidupan berpolitik. Sehingga bisa dilihat dalam praktiknya, mengutamakan keluarga, kerabat, atau saudara masih terus dilakukan. Baik ditingkat nasional maupun lokal, praktik seperti ini dapat melahirkan dinasti politik.
Mengerucut permasalahan dinasti politik pada sebuah provinsi yang baru berumur 20 tahun, dinasti politik di Banten bermuara pada sosok Chasan Sochib, ayahanda Ratu Atut Chosiyah, salah satu tokoh pembentuk Provinsi Banten yang cukup berpengaruh terutama saat mendukung Banten lepas dari Jawa Barat. Dalam kancah politik, Chasan mendorong putrinya; Ratu Atut Chosiyah, untuk maju dalam menjadi Wakil Gubernur Banten pada momentum pemilihan gubernur pertama seusai Banten lepas dari Provinsi Jawa Barat.
Fenomena kemunculan dinasti politik di Banten dimulai sejak Ratu Atut Chosiyah menjadi gubernur menggantikan Djoko Munandar yang diberhentikan karena kasus korupsi. Namun demikian, potensi terbentuknya dinasti politik di Banten sudah mulai terlihat sejak pemilihan gubernur pertama tahun 2001. Potensi tersebut tampak pada dominasi Chasan Sochib dalam mendominasi jalannya proses pemilihan gubernur pada waktu itu. Setelah menjadi gubernur pengganti, pada 2006 Ratu Atut terpilih sebagai Gubernur didampingi Masduki. Kesuksesannya menjadi nomor satu di Banten, membuat satu per satu anggota keluarganya mengikuti jejaknya dan masuk ke dalam arena politik praktis.Â
Diawali majunya Airin Rachmi Diany, istri TB. Chaeri Wardana; adik Ratu Atut Chosiyah, dalam pemilihan Bupati Kabupaten Tangerang bersama Jazuli Juwaini yang dikalahkan pasangan Ismet Iskandar- Rano Karno. Kekalahannya tidak berlangsung lama, karena sejak 2011 hingga sekarang Ia menjabat sebagai Bupati Kota Tangerang Selatan.Â
Tahun 2010 adalah tahunnya adik kandung Ratu Atut, Ratu Tatu, terpilih sebagai Wakil Bupati Serang 2010-2015 yang kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Serang didampingi Pandji Tirtayasa pada pilkada 2020. Anak lelakinya, Pilar Saga Ichsan, pilar yang akan memperpanjang tangan politik dinasti karena resmi mendaftarkan diri sebagai Wakil Wali Kota Tangerang Selatan pada pilkada 2020. Tak mau ketinggalan, Adik tiri Ratu Atut; Haerul Jaman, menjabat Walikota Serang selama 2 periode, Ia kini menduduki jabatan sebagai anggota DPR-RI dari fraksi Golkar Dapil Banten.
Tidak hanya adik-adiknya, Ratu Atut juga sukses mengirim anak-anaknya, Andika Hazrumy, sebagai Wakil Gubernur Banten periode 2017-2020. Tidak hanya putranya, anak kedua Ratu Atut; Andiara Aprilia Hikmat, juga ikut melenggang sebagai anggota DPD RI. Bahkan kedua menantu Ratu Atut punn masing-masing terpilih menjadi anggota DPRD Banten.
Gurita dinasti politik keluarga besar Ratu Atut merupakan contoh paling nyata dari laku dinasti politik yang sempurna. Mereka terus menerus memegang jabatan publik hampir tak terputus turun temurun. Lembaga legislatif tak lepas dari cengkraman dinasti Atut. Klan Atut sungguh sulit dipisahkan dengan Banten. Meski kini faktanya Atut mendekam di penjara, dinasti politik Atut masih belum sirna. Mereka kokoh bagikan karang.
Fenomena dinasti politik rentan merusak dan menghancurkan proses demokratisasi karena hanya orang-orang itu saja, bahkan bisa di katakan hanya orang-orang yang memiliki privilage lah yang bisa berkuasa dan memiliki jabatan. Dinasti politik di suatu daerah juga akhirnya mengeliminasi kesempatan orang lain yang sebenarnya memiliki integritas dan kompentensi dalam memimpin dan menjadi kepala daerah. Karena yang diperlukan dalam setiap kontestasi politik adalah kompetisi integritas dan kapasitas, bukan kompetisi isi tas. Kondisi demikian pula yang memengaruhi tingkat partisipan politik yang semakin melemah.
Dinasti politik juga rentan melakukan hal korupsi, kolusi dan nepotisme, tentunya akan banyak merugikan secara langsung maupun perlahan kepada rakyat. Jika suatu daerah dikuasai dinasti politik, maka cemderung tidak akan berkembang dan korupsi. Akibat lain dari dinasti politik ialah APBD dan kekayaan alam di daerah dikuasai oleh keluarga tertentu. Hal tersebut tentu saja bisa membuat banyak kepala daerah melakukan korupsi.
Merujuk pada kajian John T. Sidel (1990) tentang local bossism misalnya, dapat disimpulkan bahkan kehadiran model-model oligarkis, personalisme, dan klientilisme (yang semuanya menjadi ruh (esensi) dari karakteristik dinasti politik( telah menghambat proses konsolidasi dan mpembangunan demokrasi di tingkat lokal. Dalam bukunya yang lain, Sidel bahkan menuding praktik dinasti sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tak lagi didasarkan pada proses rasionalitas, tetapi didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa.Â
Hal-hal diatas sangat bertentangan dengan demokrasi yang ideal, seharusnya rakyat memiliki peluang lebih besar untuk terlibat dalam proses politik. Artinya seluruh masyarakat memiliki ruang partisipasi yang terbuka untuk ikut andil dalam berjalannya pemerintahan.