Mohon tunggu...
Meirza Sekaring Janna
Meirza Sekaring Janna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Manusia pencinta musik dan kucing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dampak Budaya Pernikahan Usia Dini di Sebagian Daerah Indonesia terhadap Anak dan Remaja

25 Juni 2022   09:04 Diperbarui: 25 Juni 2022   09:15 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan negara yang kaya akan adat istiadat dan budaya yang telah hadir secara turun-temurun. Begitu banyak budaya yang diwariskan oleh para leluhur dan masih bertahan hingga saat ini. Pada akhir tahun 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengaminkan bahwa warisan budaya tak benda (WBTB) di Indonesia bertambah sebanyak 289. Sebelum adanya pertambahan ini, diketahui bahwa warisan budaya tak benda di Indonesia berada di angka 1.528 dengan Jawa Tengah sebagai penyumbang terbanyak, yakni 52 warisan budaya.

Budaya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa pengertian yang di antaranya: pikiran, akal budi; adat istiadat; sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); serta sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar untuk diubah. Dilansir pula dari portal berita katadata.co.id, budaya merupakan "cara hidup" dari masyarakat yang kemudian diwariskan secara turun-temurun ke anak cucu mereka.

Indonesia memiliki segudang keunikan budaya dari berbagai daerah dan lapisan masyarakat. Dari banyaknya keberagaman budaya tersebut, ternyata ada beberapa budaya yang cukup memberikan suasana berbeda bagi sebagian lapisan masyarakat. Salah satunya adalah budaya pernikahan dini atau pernikahan anak yang hingga saat ini masih diterapkan di beberapa pelosok daerah. Beberapa daerah tersebut di antaranya Madura, Sumatra Barat, Indramayu, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tahun 2020, Indonesia bahkan mengalami lonjakan kasus pernikahan dini di tengah pandemi Covid 19 dengan Jawa Barat sebagai penyumbang angka tertinggi. Penyebab yang paling menonjol ialah karena adanya masalah perekonomian.

Pernikahan anak di sebagian daerah Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya tentu saja adanya faktor budaya dan adat istiadat yang telah diterapkan secara turun-temurun, rendahnya tingkat pendidikan pada masyarakat, sulitnya perekonomian orang tua atau keluarga dari sang anak, sang anak yang merasa harus berbakti dan patuh pada perintah orang tua meskipun perintah tersebut dapat berdampak buruk bagi diri mereka, serta mitos-mitos mengenai pernikahan yang dipercayai oleh masyarakat setempat. Salah satu mitos yang kerap kali terdengar adalah apabila menolak lamaran dari seseorang atau jika di usia 15-16 tahun belum menikah, maka akan sulit mendapatkan jodoh di masa mendatang.

Padahal, Indonesia telah menetapkan aturan mengenai batas usia untuk menikah, yakni pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menjelaskan bahwa batas usia minimum baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia untuk menikah adalah pada usia 19 tahun. Namun, kenyataannya terdapat beberapa daerah yang masih menerapkan pernikahan anak dalam rentang usia 14-16 tahun.

Tradisi pernikahan dini atau pernikahan anak di bawah umur menjadi hal yang cukup berisiko tinggi bagi anak-anak dan remaja yang mengalaminya. Hal ini lantaran pernikahan dini tidak menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan anak seutuhnya. Banyak anak dan remaja di luar sana yang harus kehilangan impian untuk menuntut ilmu setinggi langit tanpa harus membina rumah tangga yang sebenarnya tidak pernah mereka inginkan di usia mereka. Pernikahan dini juga rentan memberikan berbagai kerugian lainnya, seperti masalah kesehatan reproduksi dan tubuh pada anak perempuan, tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian, serta memberikan dampak buruk terhadap mental dan psikis seorang anak. Selain itu, usia anak yang sejatinya belum siap untuk membina rumah tangga dapat berisiko dalam tumbuh kembang anak yang telah mereka lahirkan.

Jika kasus-kasus pernikahan dini tanpa urgensi yang jelas ini terus terjadi di Indonesia, maka tanpa disadari sedikit demi sedikit kualitas kesejahteraan anak dan remaja akan makin menurun. Selain itu, ketimpangan antara anak-anak yang tinggal di perkotaan dengan anak-anak yang tinggal di daerah yang masih menganut budaya pernikahan anak akan makin terlihat.  Anak-anak dan remaja yang masih ingin bermain dan berkumpul bersama kawan, menuntut ilmu dan mengejar impian setinggi langit, serta mengeksplorasi banyak hal seluas mungkin tiba-tiba harus merelakan hal-hal tersebut lantaran dihadapkan pada adat istiadat dan perintah dari orang tua.

Untuk itu, pemerintah perlu lebih menggencarkan edukasi dan sosialisasi mengenai aturan batas usia minimum menikah bagi tiap individu di Indonesia, khususnya di daerah pelosok yang masih menganut budaya pernikahan usia dini. Pemerintah perlu memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai bahaya pernikahan usia dini serta isi dan makna dari UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Karena, bagaimanapun juga pernikahan dini sejatinya tidak pernah memberikan dampak yang positif bagi seorang anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun