Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kritik ketika seseorang menggunakan atau terinspirasi dari budaya lain. Contohnya, ketika seorang bintang pop Barat mengenakan pakaian tradisional Asia dalam videonya, atau ketika seorang koki non-Indonesia membuat fusion rendang burger. Banyak yang menyebut ini sebagai "pencurian budaya" atau cultural appropriation. Tapi benarkah menggunakan elemen dari budaya lain itu selalu salah?
Mari kita pikirkan sejenak tentang makanan yang kita makan sehari-hari. Nasi goreng, yang sering kita anggap sebagai makanan khas Indonesia, sebenarnya adalah hasil dari pertukaran budaya yang panjang. Teknik menggoreng nasi ini dibawa dari China, bumbunya dipengaruhi rempah-rempah India, dan cara penyajiannya sudah beradaptasi dengan selera lokal.Â
Bahkan kecap, yang jadi bahan dasarnya, adalah hasil pertukaran budaya antara China dan Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh sejarawan Denys Lombard dalam bukunya "Nusa Jawa: Silang Budaya", tidak ada budaya yang benar-benar "murni" - semuanya adalah hasil dari ribuan tahun pertukaran dan pembelajaran antar manusia.
Budaya itu seperti tanaman - dia perlu ruang untuk tumbuh dan berkembang. Ketika kita terlalu protektif dan melarang orang lain terinspirasi dari budaya kita, sebenarnya kita justru membatasi pertumbuhan budaya itu sendiri.Â
Antropolog James Clifford menunjukkan bagaimana musik dangdut, yang merupakan perpaduan antara musik Melayu, India, dan Arab, bisa menjadi sesuatu yang sangat Indonesia. Atau bagaimana batik, yang mendapat pengaruh dari India dan China, justru menjadi kebanggaan nasional kita.
Di era internet seperti sekarang, budaya tidak bisa lagi dikurung dalam kotak-kotak. Filosof Kwame Anthony Appiah dalam bukunya "Cosmopolitanism" menjelaskan bagaimana anak muda sekarang bisa mendengarkan K-pop sambil tetap mencintai dangdut. Mereka bisa makan sushi sambil tetap menikmati gado-gado. Mereka bisa mengenakan jeans sambil tetap menghargai kebaya. Yang penting adalah bagaimana kita melakukannya dengan penuh penghormatan dan pemahaman.
Tentu saja, ini tidak berarti kita boleh sembarangan menggunakan elemen budaya lain. Ada perbedaan besar antara menghormati dan mengejek, antara terinspirasi dan mengeksploitasi. Ketika kita menggunakan elemen dari budaya lain, kita perlu memahami maknanya, menghargai asal-usulnya, dan mengakui sumbernya. UNESCO dalam berbagai publikasinya menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang makna dan konteks dalam pertukaran budaya.
Yang kita butuhkan bukanlah tembok yang memisahkan antar budaya, tapi jembatan yang menghubungkan. Musisi Yo-Yo Ma dalam bukunya "Music in Everyday Life" menunjukkan bagaimana pertukaran budaya bisa menciptakan karya-karya yang indah dan bermakna. Ketika seseorang dari luar tertarik dengan budaya kita, itu adalah kesempatan untuk berbagi pengetahuan dan membangun pemahaman, bukan untuk memasang pagar dan larangan.
Budaya itu seperti api lilin - tidak akan habis walau dibagi ke banyak orang. Justru, semakin banyak orang yang menghargai dan terinspirasi dari suatu budaya, semakin kuat dan hidup budaya tersebut. Batik tidak menjadi kurang Indonesia ketika dipakai orang asing. Rendang tidak kehilangan "ke-Minang-annya" ketika dimodifikasi menjadi rendang pizza. Malah, ini menunjukkan betapa budaya kita dihargai dan bisa menginspirasi orang lain.
Di dunia yang semakin terhubung ini, kita perlu perspektif baru yang lebih terbuka dan bijaksana. Alih-alih takut budaya kita "dicuri", lebih baik kita fokus bagaimana membuat pertukaran budaya menjadi sesuatu yang positif dan saling menguntungkan. Seperti yang ditulis Ethan Zuckerman dalam "Rewire: Digital Cosmopolitans", yang penting adalah bagaimana kita bisa saling belajar, saling menghormati, dan bersama-sama menciptakan hal-hal baru yang indah.
Referensi
1. Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers. W.W. Norton & Company.
2. Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya. Gramedia Pustaka Utama.
3. Clifford, J. (1988). The Predicament of Culture. Harvard University Press.
4. Ma, Y. Y. (2008). Music in Everyday Life. Harvard University Press.
5. Zuckerman, E. (2013). Rewire: Digital Cosmopolitans in the Age of Connection. W.W. Norton & Company.
6. UNESCO. (2005). Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions.
7. Reid, A. (2015). A History of Southeast Asia: Critical Crossroads. Wiley-Blackwell.
8. Sen, A. (2012). Peace and Democratic Society. Open Book Publishers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H