Diskusi tentang hubungan antara keyakinan religius dan moralitas telah berlangsung sepanjang sejarah peradaban manusia. Artikel "Ateisme dan Kejahatan?" yang diterbitkan oleh Lilin Kecil pada 3 November 2024 pukul 17.00 (https://www.kompasiana.com/lilinkecilnet/66f39215c925c441fb37a002/ateisme-dan-kejahatan) mengangkat kembali perdebatan klasik ini dengan mengajukan serangkaian argumen yang menarik untuk dianalisis. Meski demikian, kompleksitas hubungan antara keyakinan dan perilaku moral membutuhkan eksplorasi yang jauh lebih mendalam dan nuansa yang lebih halus.
Salah satu asumsi mendasar yang perlu kita tinjau adalah pandangan bahwa ketiadaan kepercayaan pada Tuhan secara otomatis berimplikasi pada ketiadaan landasan moral. Pemikiran ini, meski tampak logis pada pandangan pertama, mengabaikan realitas kompleks dari perkembangan pemikiran moral manusia. Sepanjang sejarah, kita menyaksikan bagaimana masyarakat-masyarakat sekuler modern telah berhasil membangun dan mempertahankan sistem etika yang kokoh. Negara-negara Skandinavia, misalnya, yang secara statistik memiliki populasi non-religius yang tinggi, justru secara konsisten menunjukkan tingkat kejahatan yang rendah dan indeks kebahagiaan yang tinggi.
Pertanyaan tentang pengawasan moral yang diajukan dalam artikel asli - bahwa "ada pengawas saja kerja masih asal-asalan" - sebenarnya membuka diskusi yang lebih luas tentang motivasi perilaku moral. Penelitian dalam bidang psikologi moral menunjukkan bahwa moralitas yang didasarkan pada pengawasan eksternal cenderung lebih rapuh dibandingkan dengan moralitas yang berakar pada pemahaman dan keyakinan internal. Para filsuf moral sekuler telah lama berargumen bahwa tindakan moral yang dilakukan semata-mata karena takut akan hukuman atau mengharapkan pahala sebenarnya mengurangi nilai moral dari tindakan tersebut.
Lebih jauh lagi, pandangan bahwa nurani membutuhkan "penerjemah" dalam bentuk agama mengabaikan fakta bahwa manusia telah mengembangkan berbagai sistem filosofis yang canggih untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip moral. Filsafat moral sekuler, dari utilitarianisme Jeremy Bentham hingga imperatif kategoris Immanuel Kant, telah menyediakan kerangka pemikiran yang kokoh untuk memahami baik dan buruk tanpa harus merujuk pada otoritas supernatural. Perkembangan dalam bidang neurosains dan psikologi evolusioner bahkan menunjukkan bahwa kemampuan moral manusia memiliki basis biologis yang dapat dijelaskan melalui proses evolusi sosial.
Argumentasi bahwa kehidupan tanpa Tuhan adalah kehidupan tanpa makna juga perlu ditinjau lebih kritis. Kaum eksistensialis dan humanis telah lama mendemonstrasikan bagaimana makna hidup dapat ditemukan dalam hubungan antarmanusia, pencapaian personal, dan kontribusi terhadap kesejahteraan bersama. Albert Camus, misalnya, mengajukan bahwa justru dalam ketiadaan makna yang ditentukan secara eksternal, manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk menciptakan maknanya sendiri.
Persoalan metodologis dalam membandingkan moralitas antara populasi religius dan non-religius juga tidak sesederhana yang digambarkan. Korelasi antara religiusitas dan perilaku moral dipengaruhi oleh begitu banyak variabel sosial, ekonomi, dan kultural sehingga membuat klaim kausal menjadi sangat problematik. Penelitian sosiologis menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti tingkat pendidikan, kesejahteraan ekonomi, dan kohesi sosial seringkali memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap tingkat kejahatan dibandingkan religiusitas.
Yang sering terlewatkan dalam perdebatan semacam ini adalah bagaimana baik orang beriman maupun ateis telah memberikan kontribusi positif yang signifikan bagi peradaban manusia. Sejarah mencatat bagaimana ilmuwan, filsuf, dan humanis non-religius telah berkontribusi besar dalam memajukan pemahaman kita tentang alam semesta, mengembangkan teknologi yang meningkatkan kualitas hidup manusia, dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Pada saat yang sama, institusi-institusi keagamaan telah memainkan peran penting dalam menyediakan layanan sosial, pendidikan, dan dukungan komunitas.
Alih-alih terjebak dalam dikotomi sederhana antara beriman dan tidak beriman, mungkin sudah saatnya kita menggeser fokus diskusi pada bagaimana setiap individu dan kelompok dapat berkontribusi pada kebaikan bersama. Moralitas, pada akhirnya, tidak ditentukan oleh label keyakinan seseorang, melainkan oleh bagaimana prinsip-prinsip moral itu dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks masyarakat modern yang semakin plural, kemampuan untuk memahami dan menghargai keragaman pandangan moral menjadi semakin penting. Alih-alih mencari pembenaran untuk menganggap satu kelompok lebih bermoral dari yang lain, energi kita mungkin lebih baik digunakan untuk membangun dialog konstruktif dan kerja sama dalam mengatasi tantangan-tantangan moral yang dihadapi umat manusia secara bersama.
Kesimpulannya, hubungan antara keyakinan religius dan moralitas jauh lebih kompleks dari sekadar hubungan kausal sederhana. Baik tradisi religius maupun pemikiran sekuler telah memberikan kontribusi berharga dalam pemahaman kita tentang moralitas. Yang terpenting adalah bagaimana kita, terlepas dari keyakinan masing-masing, dapat bekerja sama dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih bermoral.
Referensi: