“Ya akhi fi hindi aw fi maghribi ana minka anta minni anta bi la tas’al an unsuri aw nasabi innamal islami ummi wa abi, ikhwatun nahnu bihi mu’talifun…
(wahai saudaraku di India atau di Maghrib [timur dan barat], aku adalah bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dariku, jangan kau tanyakan tentang suku dan silsilahku, hanya Islamlah orangtuaku dalam persaudaraan kita bersatu)”
(Syaikh Yusuf al-Qaradhawi).
Masuknya Islam di Nusantara melalui jalur perdagangan, yang sangat mengedepankan jalan damai (dialog) dalam syiarnya, bukan melalui “penaklukan” sebagaimana yang terjadi di negara Islam lain. Sehingga terjadilah proses akulturasi antara Islam dengan kearifan dan budaya lokal, inilah yang menjadikan Indonesia negara yang toleran dan kosmopolit.
Pasca reformasi di Indonesia tahun 1998 sampai dengan hari ini, keberagaman agama khususnya Islam mengalami rintangan yang luar biasa di negeri ini. Survei Pew Research Center (2012), Indonesia termasuk kedalam lima negara yang paling menderita akibat konflik agama, disusul Mesir, Rusia, Pakistan dan Myanmar. Dan juga salah satu dari lima negara yang melakukan pembatasan atas kebebasan beragama, selain Mesir, Cina, Iran dan Arab Saudi (http://www.dw.de).
Kasus Penyerangan atas pengikut Syiah di Sampang, pembubaran jamaah Ahmadiyah di Tulungagung hingga kasus-kasus Terorisme yang mengatasnamakan kepentingan agama, turut menggoreskan tinta kelam pluralisme di negeri ini. Meminjam istilah Karen Armstrong, Fenomena ini dinamakan “the Battle of God”. Yaitu sebagai bentuk mekanisme pertahanan akibat krisis yang terjadi atau disebut dengan Fudamentalisme (Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, 1991). Penulis berpendapat bahwa konflik-konflik agama yang terjadi, sebagian besar dilatarbelakangi oleh adanya pengaruh-pengaruh kepentingan segelintir penguasa di negeri ini.
Menjadi symtoma kehancuran semangat pluralitas dan kebhinnekaan bangsa yang menjadi landasan NKRI, jika negara gagal memfungsikan diri sebagai pengayom kondisi jaminan keamanan dan kenyamanan beribadah kelompok penganut aliran kepercayaan dan agama minoritas. Selanjutnya, juga akan menjadi instrumen politik gerakan pro diskriminasi SARA yang telah menjadi program politik sosial beberapa ormas agama yang berideologi transnasional. Menjadi titik pijakan gerakan politik untuk mengarahkan visi bangsa kearah visi anti pluralisme sosial.
Munculnya semangat anti keberagaman dan kebhinnekaan inilah yang sebenarnya penulis khawatirkan. Padahal keberagaman merupakan potensi yang dapat menjadikan negara ini menjadi bangsa besar. Itulah mengapa falsafah bangsa ini adalah “Bhinneka Tunggal Ika”. Meskipun berbeda-beda bisa menjadi satu saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya.
Islam yang juga berarti proses saling menyelamatkan antara satu dengan yang lain. Sedangkan secara subtansial, Islam bukan hanya status sosial, melainkan nilai atau sifat seseorang.
Sifat eksklusif yang ditunjukkan oleh umat Islam, yang artinya mereka menganggap bahwa pendapat atau aliran merekalah yang paling benar, dan pendapat orang lain itu salah. Sehingga pertikaian atau debat kusir dikalangan umat Islam sering terjadi, sampai kepada saling mengkafirkan dan saling memurtadkan.
Secara tidak disadari, ilmu Dajjal itu telah masuk kedalam tubuh umat Islam. Yakni ilmu membelah, hitam dan putih, pemikiran kanan dan kiri, kerabat dan asing, kita benar mereka salah. Mohammed Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.
Keberagaman umat manusia yang merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Bahwa Allah SWT menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS.49:13)4.
Perbedaan pendapat dalam Islam, merupakan proses menuju kalimatun sawa. Dan di sisi lain, perbedaan secara teologis juga merupakan penampakan Allah sebagai dzat Yang Maha Agung. Sebagai sebuah proses, perbedaan pendapat akan menjadi kekuatan dialektis yang apabila disikapi secara positif akan melahirkan gagasan yang lebih memperkaya khazanah pengetahuan.
Yang paling disesalkan dalam perbedaan pendapat ini adalah begitu mudahnya kita mengkafirkan dan mensyirikan apa yang orang lain ucapkan atau kerjakan, padahal menilai kejahatan atau kemuliaan seseorang, tidak bisa diukur dengan cara melihat peristiwanya saja. Melainkan juga harus dilihat juga kaitannya dengan sebabnya, asal-usulnya, konteks yang melatarbelakanginya, bahkan kandungan niat dalam hatinya yang sunyi dan rahasia. Sungguh sebuah ironi kehidupan beragama yang terus bergulir, dan apa mau dikata, Islam yang awal masuknya penuh kedamaian, kini harus berusaha melewati jalan terjal di bumi Indonesia.
Daftar Pusataka
Amstrong, Karen. 2001. Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi. Serambi dan Mizan: Yogyakarta.
Imarah, Muhammad. 1999. Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. Gema Insani: Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H