Puisi indah dilahirkan juga dengan adanya pemakaian gaya bahasa atau bahasa figuratif. Ibarat masakan tanpa garam maka akan hambar, begitu pula dengan Jokpin, memilih gaya bahasa yang indah dan imajinatif untuk membumbui puisinya.Â
Joko Pinurbo yang kerap disapa Jokpin adalah seorang penyair yang lahir di Sukabumi tepatnya pada tanggal 11 Mei 1962. Jokpin dikenal dengan karya-karyanya yang indah dan memikat hati pembacanya.Hal ini menambah daya tarik pada karangan-karangan puisi miliknya. Salah satu buku kumpulan puisi Jokpin ialah "Malam ini Aku akan Tidur di Matamu" diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2016. Â Salah satu puisi yang menarik pada buku tersebut untuk dikaji dalam segi gaya bahasanya yakni puisi dengan judul "Perjalanan Pulang" yang ditulis beliau pada tahun 1991.
Puisi ini dibalut dengan gaya bahasa yang bervariatif. Penggunaan gaya bahasa atau yang disebut dengan majas tersebut bertujuan agar menghidupkan atau memberi makna tersirat dalam sebuah puisi. Majas terdiri dari berbagai jenis seperti simile, ironi, personifikasi, hiperbola dan masih banyak lainnya. Namun, dalam hal ini saya akan membahas penggunaan majas personifikasi pada puisi "Perjalanan Pulang" karya Joko Pinurbo.Â
Majas personifikasi ialah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati seolah-olah memiliki sifat atau bertingkah laku seperti manusia. Setelah saya membaca puisi tersebut secara berulang dan memahami secara lebih mendalam, menurut saya puisi ini adalah karangan puisi yang sangat indah dan memiliki makna yang begitu dalam yakni tentang kehidupan manusia yang sedang menuju kematian.
Majas personifikasi yang pertama terletak pada baris "mengangankan masih ada bus yang bakal datang membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali". Kata bus yang dimaksud ialah adanya pintu maaf dari Tuhan. Karena setiap manusia di bumi ini tentunya mempunyai dosa dan kesalahan, dari baris tersebut menunjukkan bahwa mengangankan adanya pintu maaf dari Tuhan untuk dibawanya pada saat kematian.
Majas personifikasi yang kedua ialah pada baris "di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan". Pada baris ini, yang dimaksud dengan halte ialah amal perbuatan. Segala amal dan perbuatan pada manusia itulah yang akan menemani setiap orang tersebut di tempat peristirahatan terakhirnya. Â Baik dan buruknya setiap perbuatan akan menentukan bagaimana kehidupannya kelak di waktu setelah kematian. Sungguh dalam makna pada baris ini.
Pada baris "Tak bosan bosan. Jendela selalu membukakan dirinya untuk dimasuki dan ditinggalkan." Juga mengartikan bahwasannya jendela pada konteks ini bisa diibaratkan tempat atau rumah ibadah yang selalu terbuka bagi setiap manusia untuk menyembah Tuhannya yang bahkan manusia bisa masuk atau meninggalkan. Sungguh makna yang dalam karena manusia memang tempat salah dan dosa tapi Tuhan bahkan selalu membuka rumah untuk manusia beribadah yang kerap kali mungkin ditinggalkan ketika bahagia menyelimutinya. Di bait yang sama, pada baris "seperti juga telapak tanganmu: selalu terbuka untuk dilayari dan disinggahi" juga dapat dimaknai Tuhan Maha pengampun atas segala kesalahan dan dosa hambaNya yang memohon ampunan padaNya.
Majas personifikasi selanjutnya terletak pada bait "Andaipun langit bisa memperpendek batas, tak berarti jangkauan begitu saja luas. Siapa tahu tatapan malah meluas, memburu sinyal-sinyal baru yang memberitakan atau menyembunyikan pesanmu." Dalam hal ini dapat dimaknai meskipun manusia mengalami kematian, bukan berarti dia selesai tugasnya tapi ada alam yang lebih luas setelanya yaitu akhirat. Serta memburu sinyal sinyal baru dapat dimaknai bahwa ketika kematian datang, dihadapkan dengan alam baru yang pula menyimpan banyak rahasia.
Pada bait 11 yaitu yang tertulis "berapa lama kata-kata berbincang tentang artian? Uban-uban tak mau bicara tentang kekuatan. Garis-garis tangan tak menuliskan suratan. Dinding-dinding tak membatasi ruang. Berapa lama ucapan tak mau bungkam?" juga terdapat gaya bahasa personifikasi. Makna yang saya dapat pada bait ini ialah manusia tak dapat memprediksi datangnya kematian, ditunjukkan dari uban uban dan garis-garis tangan tak menuliskan suratan. Kematian bisa datang kapan saja tidak dibatasi apapun.
Pada bait selanjutnya juga terdapat majas personifikasi, seperti pada baris "Rumah itu mungkin akan selalu menanyakan kepulangan, pintu-pintu minta kiriman kisah petualangan" yang dapat dimaknai kematian itu akan selalu ada dan berada di depan kita. Jadi, seberapa lama manusia ingin hidup pasti akan bertemu dengan ajalnya.
Pada puisi ini, penulis juga ingin menunjukkan gambaran atau suasana saat manusia akan dipanggil Tuhannya untuk ditempatkan di peristirahatan terakhir. Hal itu digambarkan pada bait "Kalender menangis melengking-lengking. Apakah waktu sudah sangat bosan menghuni jam dinding? Aduh sayang, detik-detik berjatuhan ke lantai dingin, diserbu semut-semut hitam untuk pesta persembahan". Pada bait ini digambarkan suasana manusia mengalami sakaratul maut atau berada di titik akhir usianya yang mana kelak manusia akan kembali ke tanah. Ditambah dengan bait setelahnya, yaitu "Ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari. Lonceng gereja mengepung rindumu di malam buta, membangunkan si sakit dari ranjang beku di kamar-kamar mati" menambah kesan mendalam bagi saya karena di bait ini penulis berusaha menggambarkan keadaan saat manusia dihadapi dengan kematian.