Kota Kudus adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini terkenal dengan sebutan "Kota Kretek" karena di sini terdapat banyak pabrik kretek atau rokok khas Indonesia. Begitulah kira-kira penjelasan dari Mas Dayat -tourguide kami di Walking Tour Langgar Dalem beberapa waktu lalu. Â
Kretek adalah rokok yang terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh yang telah dihancurkan. Kretek menjadi salah satu produk rokok paling terkenal di Indonesia dan memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan kota Kudus di Jawa Tengah.
Sejarah kretek di Kudus dimulai pada awal abad ke-20, ketika seorang warga bernama Nitisemito memulai usaha rokok di Kudus. Awalnya, rokok yang diproduksi adalah rokok tembakau biasa, namun kemudian ia mencoba mencampurkan cengkeh ke dalam rokok tersebut.Â
Ketika dicampurkan, ternyata menimbulkan suara 'kretek-kretek'. Akhirnya, rokok dengan tambahan cengkeh itu sepakat dijuluki rokok kretek. (Terkait penemu pertama Rokok Kretek, ada juga yang menyebutkan Haji Jamhari).
Selanjutnya, 1909 didirikanlah perusahaan kretek oleh Nitisemito  yang dinamai "Bal Tiga". Kretek ini terdiri dari campuran tembakau, cengkeh, dan kapur sirih. Bal Tiga menjadi sangat populer di Kudus dan sekitarnya, sehingga Nitisemito mulai memproduksi kretek secara massal.Â
Sejalan dengan kejayaan kretek Tjab Bal Tiga, lahirlah kurag lebih 165 pabrik kretek yang lain. Misalnya Kretek Cap Jago dan Jagoeng  milik Haji Husnan, dan Kretek Cap Tebu dan Cengkeh milik Haji Muslih-anaknya Haji Husnan.
Konon, barang siapa yang masuk Kota Kudus, Ia akan langsung mencium aroma kretek. Bagaimana tidak? Pada zaman itu, setiap pabriknya memproduksi 1 juta batang rokok perharinya. Sejak saat itu, kretek menjadi produk rokok yang paling terkenal di Indonesia. Kretek mulai diekspor ke luar negeri dan menjadi salah satu produk ekspor terbesar Indonesia.
Kudus hingga kini masih menjadi pusat produksi kretek terbesar di Indonesia. Kretek juga telah menjadi bagian penting dari kebudayaan Indonesia dan sering dikaitkan dengan identitas nasional.Â
"Sayangnya, banyak pabrik yang bangkrut dan hanya beberapa yang masih bertahan. Hal ini disebabkan oleh berbagai masalah diantaranya biaya pajak yang tinggi dan masalah internal," tutup Mas Dayat ketika perjalanan kami telah sampai di depan kediaman Nitisemito.